SDG’s Desa dan Penguatan Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa

Oleh: Yayasan Penabulu

Desa semakin menjadi entitas yang penuh dengan sumberdaya, baik sumberdaya manusia, maupun potensi alam dan produk unggulannya. Terlebih karena desa saat ini semakin memperoleh perhatian lebih dari negara. Banyak harapan untuk desa dan masyaakatnya, salah satunya adalah anggaran untuk 18 SDG’s Desa. Untuk mengembangkan pemahaman lebih dalam tentang SDG’s desa, maka pada tanggal 5 Desemmber 2020, Penabulu mengikuti kegiatan webinar yang dilaksanakan oleh Tropenbos Indonesia. Webinar series kali ini mengambil judul ‘SDG’s Desa dan Penguatan Tata Kelola SDA Desa”. Moderator webinar ini adalah Dr. Titiek Setyawati dengan menghadirkan tiga (3) orang narasumber yakni, Drs. Samsul Widodo, M.A. (Dirjen Pembangunan Daerah tertinggal), Dr. Ir. Hungul Y. S. H Nugroho, M.Si (Peneliti BP2LHK Makassar) dan Dr. Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia.

Sesuai judulnya, webinar kali ini membahas mengenai pengalaman, keberhasilan, dan tantangan dari penerapan SDG’s desa, serta pengelolaan SDA desa di Indonesia. Dalam pemaparannya, Dr. Edi Purwanto menjelaskan bahwa saat ini pembangunan desa di Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas.  Undang-Undang No.6/2014 menyebutkan bahwa desa memiliki kedaulatan meskipun bersifat terbatas karena desa merupakan entitas yang mempunyai legitimasi dan recognisi dalam bentuk peraturan dan adat istiadat yang khas secara turun temurun. Namun dalam praktiknya, kedaulatan desa ini sering terhambat karena posisi kewenangan desa masih sering “dilangkahi” oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi.

Upaya yang dilakukan desa untuk melindungi SDA-nya seringkali kalah dengan kepentingan pemerintah daerah ataupun pusat yang memberikan ijin kepada sektor – sektor yang ingin mengeksploitasi SDA yang berada di wilayah desa. Saat ini juga masih banyak wilayah desa yang belum memiliki batas wilayah yang jelas, sehingga seringkali menimbulkan sengketa antara desa dan instansi/individu yang melakukan aktivitas berdekatan dengan wilayah desa. Masalah ini menjadi semakin problematis karena menurut pemateri dalam beberapa kasus pembangunan di desa juga masih lebih sering fokus pada pembangunan infrastruktur dan sosial, tanpa banyak mempertimbangkan pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Belum lagi hal tersebut diperparah dengan terjadinya pergeseran budaya di banyak desa yang semakin eksploitatif terhadap lingkungan demi mendapatkan keuntungan materi yang besar .

Di sisi lain, Drs. Samsul Widodo, M.A. dalam pemaparannya mencoba mengulas tema webinar kali ini melalui sudut pandang potensi yang dimiliki desa. Menurutnya, desa – desa di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan, wisata, hingga energi terbarukan. Namun di lapangan, potensi ini belum dikembangkan secara maksimal dan efisien. Oleh karena itu, program Dana Desa senilai 72 Triliun Rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah pada 2020 dapat menjadi fasilitas yang dapat digunakan oleh desa dalam upaya  mengembangkan potensi dan produk unggulannya secara  lebih maksimal. Sehingga diharapkan desa mampu membangun,   dan membuat inovasi skema –skema distribusi, promosi komoditas desa yang lebih efisien dan berdaya saing. Di tahun 2021, prioritas Dana Desa ada 3 yakni: 1) Pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa, 2) Program prioritas nasional sesuai kewenangan desa dan 3) adaptasi kebiasaan baru (Desa Aman Covid-19 / SDGs Desa 1 dan 3.

 

Sedangkan Dr. Ir. Hungul dalam pemaparannya mencoba untuk membahas tema besar webinar kali ini melalui sudut pandang yang lebih teknis. Pemateri mencoba menjelaskan beberapa skema yang dapat digunakan oleh desa untuk mengelola SDA nya secara maksimal namun tetap ramah lingkungan. Skema yang disampaikan oleh beliau adalah sebagai berikut :

Dijelaskan bahwa untuk mencapai pengelolaan SDA desa yang maksimal maka terdapat empat pilar yang harus ditegakkan demi menopang proses tersebut yaitu : 1) Masyarakat Desa, 2) KLHK, 3) LSM terkait, dan 4) Pemerintah Daerah. Keempat pilar ini harus dapat berkolaborasi secara teknis, pendampingan, hingga secara kebijakan agar pelaksanaan pengelolaan SDA desa dapat berjalan dengan baik. Selain empat pilar yang menopang berjalannya program ini, dalam praktiknya juga diperlukan empat pendekatan yang perlu dilakukan menurut beliau, 1) Keterlibatan Multipihak, 2) Pengaplikasian Teknologi yang Sesuai dengan Sumber Daya Lokal, 3) Transfer Pengetahuan Terkait Teknis Hingga Pelembagaan, dan 4) Penguatan Kapasitas Personal, Organisasi, dan Pendampingan. Selain teknis pelaksanaan, pemateri juga memaparkan mengenai beberapa contoh keberhasilan pengelolaan SDA desa yang telah terdokumentasikan, seperti pemanfaatan aliran air untuk menghasilkan listrik micro-hydro (PLTMH) dan Kompor Bio-Massa (KOMBI).

Secara umum, SDG’s Desa apabila diterapkan secara sungguh-sungguh oleh seluruh desa di Indonesia, didampingi oleh para pendamping desa yang dapat diandalkan, memahami mekanisme dan sistem digital terpadu, maka dapat dipastikan semua desa akan berdaya dan bermartabat. Sehingga kerjasama lintas sektoral sungguh diperlukan agar kemajuan desa, menjadi pemajuan kawasan yang bermanfaat untuk masyarakatnya.

Sekolah Adat Yayasan Merangat

Ketahanan Desa Menghadapi Covid 19

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Unduh PDF

Indonesia Forest Forum : Perhutanan Sosial Untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan

Perhutanan Sosial merupakan program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan adanya perhutanan sosial, masyarakat dapat mengelola hutan lestari secara bijak baik dalam kawasan hutan negara atau hutan adat. Namun, sebenarnya bagaimana program tersebut dijalankan? Apa langkah yang mungkin dilakukan agar program Perhutanan Sosial dapat semakin efektif dan luas jangkauannya?

Tempo bekerjasama dengan Ford Foundation pada tanggal 11 November 2020, menggelar Indonesia Forest Forum. Diskusi yang dilaksanakan melalui media virtual/daring dengan tema “ Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan” ini menghadirkan beberapa narasumber kompeten di bidangnya dari latar belakang pemerintah (pemda dan pusat), praktisi, NGO, akademisi dan jurnalis sehingga diharapkan edukasi dan informasi kepada publik terkait apa dan bagaimana Perhutanan Sosial bisa tercapai.  Para panelis banyak memberikan informasi mulai dari bagaimana penerapan Perhutanan Sosial dari sisi kebijakan, pelaksanaan dan pengalaman di lapangan maupun tantangan yang dihadapi desa-desa hutan di Indonesia.

Perhutanan Sosial bertujuan untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan maupun kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran yang berdampingan atau berada di wilayah hutan dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di lingkungan hutan. Selain itu, Perhutanan Sosial juga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan ekonomi berdasarkan pada tiga pilar yakni: 1) lahan, 2) kesempatan usaha dan 3) sumberdaya manusia.

Berdasar penjelasan dari narasumber dan informasi portal resmi Kominfo (2017), dalam pelaksanaannya, pengelolaan kawasan hutan dibagi menjadi lima (5) skema yaitu:

  1. Hutan Desa (HD), adalah wilayah hutan yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa dengan tujuan untuk meningkatan kesejahteraan desa.
  2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), adalah hutan milik negara yang pemberdayaannya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
  3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman produksi yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas dan potensi dari hutan produksi tersebut dengan memanfaatkan teknik silvikultur ( pengendalian tanaman, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan ) demi menjaga kelestarian sumberdaya hutan.
  4. Hutan Adat (HA), adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat
  5. Kemitraan Kehutanan, adalah kemitraan antara masyarakat dengan pihak ketiga seperti pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang iin usaha industri primer hasil hutan.

Dalam implementasi di lapangan, Perhutanan Sosial ini seringkali menghadapi tantangan dibidang regulasi, karena masih banyaknya peraturan yang tumpang tindih terutama dalam pengelolaan tanah dan hutan yang pada akhirnya menyulitkan mekanisme verifikasi bagi pihak yang mengajukan ijin pemanfaatan hutan. Kerancuan dalam aspek legal ini berdampak pada sengketa wilayah hutan yang sampai sekarang masih sering menimbulkan kerugian dan korban karena belum teratasi secara maksimal. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang sehat dan berpihak agar keadilan sosial dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan.

Diskusi Tematik Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia

Diskusi tematik tentang infrastruktur ramah disabilitas sebagai rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Nasional yang akan berpuncak pada tanggal 3 Desember 2020 menjadi salah satu upaya penyadaran bahwa pemerintah, pebisnis dan masyarakat khususnya penyandang disabilitas perlu mendap atkan pengakuan dan hak yang sama dalam hidup berbangsa. Oleh karena itu pada tanggal 17 November 2020, KIAT sebuah program kerjasama Indonesia dan Australia untuk mencip takan dan memajukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta inklusif melalui akses infrastruktur bagi semua menggelar sebuah diskusi tematik melalui media daring dengan tema: “ Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia.”

Kegiatan ini menghadirkan enam orang narasumber mewakili pemerintah pusat (Kementerian PUPR, Cipta Karya, KSP), Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas (HWDI) Pusat dan NTB serta Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Konsep besar perubahan paradigma tentang pembangunan infrastrur berpijak dari Visi Indonesia Emas pada tahun 2045 untuk menjadi negara yang semakin adil, makmur, berdaulat, melalui pembangunan infrastruktur yang merata, terintegrasi dan inklusif. Visi besar tersebut akan tercapai apabila pembangunan menerapkan lima (5) poin dasar yakni: 1) harus melibatkan semua lapisan masyarakat, 2) berkomitmen dengan SDGs, 3) mewujudkan kesetaraan gender, 4) pembangunan berkelanjutan dan 5) bersifat inklusif.

Diskusi ini banyak membahas kebijakan pemerintah bersama multi pihak dalam upaya merancang dan membangun infrastruktur ramah disabilitas. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada bulan Agustus 2020 telah terbit satu Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2020 yang mengatur aksesibilitas terhadap pemukiman layanan publik dan perlindungan kebencanaan bagi penyandang disabilitas. Peraturan ini lahir sebagai upaya pemenuhan hak agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional.

Dijelaskan, bahwa saat ini Indonesia sangat membutuhkan kontribusi dari seluruh pihak untuk mencapai visi, karena saat ini Indonesia hanya mampu mencover 37% dari 6.445 trilyun anggaran untuk mencapai visi 2045. Maka untuk mengatasinya, pemerintah Indonesia membuat terobosan penanganan dan pembiayaan bekerjasama dengan badan usaha (KPBU) yang memungkinkan badan usaha untuk membangun, mengelola dan merawat infrastruktur dalam waktu tertentu sebelum diserahkan ke pemerintah. Badan usaha dapat memperoleh kembali investasinya melalui user charge tarif penggunaan infrastruktur misalnya di jalan tol, availability payment yang memungkinkan pemerintah membayar badan usaha yang telah memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimum misalnya di rumah sakit maupun cara lainnya selama tidak melanggar peraturan. Pemerintah juga melakukan penjaminan di PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia untuk mengantisipasi risiko tertentu yang bisa ditanggung pemerintah.

Dalam paparannya baik Kementerian PUPR maupun Cipta Karya menjelaskan bahwa infrastruktur yang dibangun saat ini sudah sesuai dengan PP No 42/2020, sehingga aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diperhatikan. Dalam diskusi ini juga dibuat poling dengan pertanyaan,  “ menurut an da, secara umum apakah infrastruktur yang tersedia sekarang sudah ramah disabilitas?” dan mayoritas peserta poling menjawab tidak. Oleh karena itu, dalam penjelasannya, Bapak Sunarman dari Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan sesuai dengan Perpres No 38/2019 memberikan amanat kepada KSP untuk memberikan dukungan kepada presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program priorit as nasional, komunikasi politik dan pengelolaan isu-isu strategis. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas KSP adalah pengawasan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Presiden dengan tegas dan jelas menyampaikan bahwa paradigma negara kepada warga negara penyandang disabilitas harus bergeser dari paradigma karitatif ‘Charity Based’ menjadi paradigma perlindungan dan pemenuhan hak ‘ Human Rights Based.’ Narasumber juga menjelaskan paradigma praktik di lapangan terkait pembangunan infrastruktur yang masih kurang ramah disabilitas diantaranya:

  1. Kurangnya pemahaman aspek ragam disabilitas, belum tercermin dalam persyaratan IMB, sehingga masih banyak pembangunan fasilitas publik yang belum aksesibel.
  2. Jika aspek aksesibilitas sudah masuk dalam Detail Engineering Design (DED), pengerjaannya sering tidak konsisten/tidak sesuai standar sehingga justru membahayakan pengguna dan pemborosan anggaran karena akhirya tidak digunakan.
  3. Keterlibatan penyandang disabilitas seringkali tidak dari proses perencanaan tetapi langsung diminta uji coba aksesibilitas, ketika pembangunan infrastruktur sudah selesai sehingga kadang sudah terbangun namun tidak memenuhi standar
  4. Pengadaan barang dan jasa belum konsisten terhadap aksesibilitas
  5. Penegakan hukum blum terlihat atau masih parsial

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, maka tantangan yang dihadapi saat ini mencakup beberapa hal yakni:

  1. Banyaknya ragam disabilitas
  2. Geografis Indonesia yang beragam dan sulit
  3. Daya dukung sosial ekonomi yang masih minim
  4. Kesadaran, sensitivitas dan keberpihkan yang masih kurang
  5. Kapasitas dan jaringan advokasi yang beragam
  6. Masih dibutuhkan koordinasi dan sinergi vertikal dan horisontal
  7. Kemampuan keuangan daerah yang beragam
  8. Rekomendasi
  9. Aspek ragam aksesibilitas / universal design menjadi persyaratan IMB
  10. Melibatkan ragam disabilitas dalam perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi (audit) pembangunan infrastruktur
  11. Law enforcement/mekanisme feedback/complain kepuasan
  12. Politik anggaran yang pro-disabilitas termask aksesibilitas
  13. Penyandang disabilitas terlibat dalam forum pengadaan barang dan jasa

Untuk menjawab tantangan ini, KIAT bekerjasama dengan multi pihak berupaya mengedepankan beberapa landasan hukum berikut:

  1. UUD 1945 pasal 27 H ayat 2, setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
  2. UU nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung pasal 27 (2)
  3. UU nomor 8/2016 pasal 2 huruf h, pasal 5 (1) huruf m dan pasal 18 tentang Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak
  4. Peraturan Pemerintah (PP) no 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlidungan dan Pemenuhan Hak Ppenyandang Disabilitas menjadi sasaran strategi RIPD No 2
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 42/2020 tentang Aksesibilitas terhadap Pemukiman Layanan Publik dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas\
  6. Peraturan Menteri PUPR nomor 14/2018 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung

Penerapan landasan hukum terutama PP no 42/2020 diharapkan menciptakan penyediaan pedoman dan standar tekis pemukiman yang mudah diakses penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan transportasi umum yang ramah disabilitas. Dalam isu penanggulangan kebencanaan, diperlukan akomodasi yang layak dan data maupun informasi yang mudah diakses.

Guna mempercepat infrastruktur yang ramah disabilitas, KIAT (Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur) memberikan bantuan teknis dalam PHJD/PRIM sehingga infrastruktur menjadi responsif gender dan inklusi bagi penyandang disabilitas. Sedangkan Kementerian PUPR sudah melaksanakan pembangunan infrastruktur yang terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan pengarusutamaan gender, serta berlandaskan tata kelola pemerintahan yang baik dalam proses pencapaian tujuan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan kebutuhan, tingkat kesulitan, aspirasi perempuan, laki-laki dan anak-anak, penyandang disabilitas dan kelompok marginal.

Peran Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas baik pusat maupun daerah diperlukan untuk lebih mewujudkan pembangunan infrastruktur yang adil bagi semua. Organisasi lain yang terlibat dalam proses ini adalah Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang ikut mengawal ketersediaan fasilitas aksesibilitas terutama dalam proses perijinan bangunan gedung khususnya di Jakarta dan beberapa kota lainnya.

Semoga pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak berhenti di tataran regulasi terutama implementasinya di tingkat daerah, sehingga aksesibilitas yang adil bagi semua dalam visi Indonesia emas 2045 dapat terwujud. Diharapkan dengan sinergitas multi sektor dan konsistensi, Indonesia menjadi negara yang seakin memperhatikan partisipasi berbagai kelompok kepentingan terutama mereka yang sering terpinggirkan dalam sektor infrastruktur bangunan dan jalan, khususnya perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas.

Seminar Nasional: Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM: “Memetakan Progres dan Agenda di Indonesia ”

Topik tentang Bisnis dan HAM menjadi semakin berkembang secara global sejak disepakatinya UN Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights: Implementing the United Nations: Protect, Respect and Remedy Framework pada tahun 2011.  Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan nilai-nilai UNGPs melalui Kementerian Hukum dan HAM yang melanjutkan tugas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Focal Point untuk mengawal proses penyusunan Peta Jalan Bisnis dan HAM 2020 – 2024.

Penerapan UNGPs dalam praktik bisnis banyak melibatkan aktor: pemerintah, pebisnis maupun organisasi masyarakat sipil sebagai bentuk sinergitas dari sisi regulasi, pelaksanaan maupun pengawasan.  Berkaitan dengan capaian dan tantangan dalam advokasi bisnis dan hak asasi manusia yang dilakukan masyarakat sipil di Indonesia tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Rights Working Group (HRWG), Konsil LSM dan Yayasan Penabulu memandang perlu bagi masyarakat sipil Indonesia untuk mendiskusikan, membahas, dan mengenal implementasi, capaian dan proyeksi UNGPs di Indonesia. Untuk itulah pada tanggal 8 November 2020 diselenggarakan Seminar Nasional mengangkat tema “ Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM,” dengan lima narasumber yang dihadirkan dari kalangan pemerintah (Bappenas dan Kemenkumham), pebisnis (Kadin) dan NGO.

Dijelaskan, bahwa pada Februari 2019 telah dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM di Bogor oleh Multistakeholder Forum yang menghasilkan 10 poin rekomendasi bagi Indonesia dalam mengimplementasikan UNGPs sebagai berikut:

  1. Disusunnya panduan upaya peningkatan kesadaran bagi para pemangku kepentingan di semua tingkatan
  2. Mengadopsi komitmen kebijakan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan HAM
  3. Mengkonsolidasikan upaya penilaian baseline dan mengisi kesejangan data
  4. Menyelaraskan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM dengan SDGs
  5. Mendukung kelanjutan dan peningkatan inisiatif sertifikasi terkait HAM yang sedang berlangsung
  6. Mengembangkan strategi komunikasi untuk mengkomunikasikan bukti kemajuan di Indonesia secara lebih efektif
  7. Terlibat dalam konsultasi berkala dengan organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta
  8. Memecah peta jalan menjadi tugas yang dapat ditindaklanjuti dan menugaskan pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan setiap tugas
  9. Menyetujui kerangka waktu dan target roadmap
  10. Adaptasi SOP yang tepat

Dalam seminar ini, narasumber juga memberikan gambaran bahwa Peta Jalan Bisnis dan HAM merupakan upaya penerapan UNGPs yang dibentuk dengan target dan tujuan bagi:

  1. Perusahaan yang sudah mengetrapkan konsep Bisnis dan HAM
  2. Terbentuknya mekanisme pendukung yakni mekanisme due diligence, mekanisme pelaporan dan pemulihan serta akses kelompok marjinal untuk memperoleh pemulihan
  3. Indikator dan target yang lebih fokus, terutama terkait dengan hak anak yaitu perlindungan hak anak yang beyond forced labour

Upaya menyelaraskan bisnis dan HAM tentu akan menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan beragam dari banyak pihak. Salah satu pertanyaan yang paling dasar adalah “ mengapa HAM penting bagi Bisnis?” Bisnis sangat berorientasi keuntungan dan seringkali muncul anggapan bahwa isu HAM akan menghambat kinerja bisnis. Jika dihubungkan dengan pertumbuhan negara, akan seperti dua sisi koin:  di satu sisi isu HAM merupakan topik yang perlu ditegakkan oleh negara, namun disisi lain dikhawatirkan akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Kita perlu bercermin dari pengalaman negara-negara di Asia seperti Thailand dan Korea Selatan yang telah lebih dulu mengupayakan dan menerapkan terciptanya hubungan harmonis antara Bisnis dan HAM. Di kedua negara tersebut, aktivitas bisnis dapat berjalan beriringan dengan HAM melalui implementasi beberapa pelaksanaan kebijakan secara bertahap guna mencapai tujuan pembangunan terutama terkait dengan kesejahteraan pekerja sehingga dapat memaksimalkan potensi di setiap sektor usaha.

Gagasan awal pelaku bisnis memperhatikan isu-isu HAM dan isu-isu lain seperti: Lingkungan, SDA, dsb, muncul dari kegiatan filantropi seperti pemberian sumbangan ‘donasi’ sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Meskipun para pelaku bisnis dan pemangku kepentingan lain mempunyai pemahaman yang berbeda terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan, namun perbedaan pemahaman ini dapat terjembatani dalam ISO 26000 yang disusun secara partisipatif oleh hampir 100 negara termasuk Indonesia. ISO 26000 merupakan panduan komprehensif yang dapat diterima di seluruh dunia yang dirilis November 2010 dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadi SNI 26000 pada April 2013.

Dokumen internasional ini bukan standar sistem manajemen sehingga tidak ada sertifikasi tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau biasa dikenal dengan CSR. Corporate Social Responsibillity/CSR merupakan sebuah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan dari produk barang dan jasa yang dihasilkan maupun keputusan dan aktivitasnya dalam menghasilkan barang dan jasa terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Tanggung jawab ini ditunjukkan dengan perilaku etis dan transparan, memperhitungkan harapan pemangku kepentingan, mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku yang terintegrasi di seluruh perusahaan dan dipraktikkan dalam interaksinya dengan pihak lain. Tujuan akhir CSR adalah kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan.

Selain penjelasan di atas, para narasumber di seminar ini juga banyak menanggapi pertanyaan terkait dengan posisi dan peran masyarakat sipil/LSM dalam upaya penegakan Bisnis dan HAM. Dijelaskan bahwa peran masyarakat sipil maupun LSM adalah menjadi daya dorong gerakan advokasi kepada pemerintah untuk mewujudkan regulasi terkait dengan bisnis dan HAM. Mendorong pemajuan isu bisnis dan HAM dalam bentuk program kelembagaan, diantaranya dengan melakukan diskusi, seminar, workshop, internalisasi (bagi OMS), pelatihan dan aktivitas advokasi lainnya. Selain itu, juga memproduksi pengetahuan dalam bentuk riset secara mandiri maupun berkolaborasi dengan pemerintah, secara eksternal juga mendorong perusahaan untuk mengakomodir prinsip-prinsip dalam UNGPs ke dalam kebijakan operasional perusahaan.

Apakah peran ini sudah cukup berhasil mendorong implementasi bisnis dan HAM? Kebijakan dan proses ini menjadi proses dasar untuk meletakkan upaya diseminatif fondasi relasional antara aktivitas bisnis dan HAM. Belum menegaskan tanggung jawab negara dan korporasi untuk membangun tatanan kebijakan yang holistik sehingga mampu mendorong akselerasi pembangunan yang inklusif, merata dan berkeadilan. Tiap pihak perlu meningkatkan efektivitas bekerjanya sistem tata kelola polisentris yang tunduk pada standar dan mekanisme prinsip pedoman bisnis dan HAM.

Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat sipil untuk mengintegrasikan prinsip pedoman bisnis dan HAM kedalam rencana kerja pemerintah baik pusat, daerah maupun desa serta korporasi di seluruh Indonesia.

The Life and Adventures of Ruggie Principles: “A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia”

Sebagai penanda 10 tahun ratifikasi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) yang akan jatuh pada bulan Juni 2021, maka pada tanggal 23 November 2020 dilaksanakan sebuah seminar internasonal melalui media daring yang  diprakarsai oleh ELSAM, Konsil LSM Indonesia, HRWG, Penabulu Foundation dan Sawit Watch dengan tema “ The Life and Adventures of Ruggie Principles: A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia.” Tujuan seminar  adalah untuk mempromosikan dan berbagi pengetahuan tentang pelaksanaan BHR dalam perspektif internasional dan lokal (Indonesia).

Kegiatan ini sejalan dengan progam pemetaan diskursus oleh Kelompok Kerja PBB untuk Bisnis dan HAM. Oleh karena itu, agar informasi semakin akurat maka  dihadirkan keynote speaker dari OECD Working Party on Responsible Business Conduct serta para narasumber dari: Forum Asia, APAC,ABN AMRO Bank, People Coalition for Food Sovereignity dan ELSAM. Para narasumber memberikan penjelasan terkait dengan  pengembangan peta jalan guna mengimplementasikan UNGPs secara lebih luas sampai dengan tahun 2030.

Dijelaskan oleh para narasumber bahwa setiap pemangku kepentingan di seluruh dunia baik pemerintah, perusahaan maupun NGO, sebenarnya telah berusaha untuk melakukan internalisasi UNGPs dalam konteks negara masing-masing, khususnya belajar dari pelaksanaan di Asia (Thailand) maupun Indonesia dengan  tantangan dan kemajuannya. Selain UNGPs, keberadaan OECD sebagai organisasi yang terlibat dalam perdagangan dan pembangunan juga mempunyai peran untuk mewadahi kepentingan anggotanya yang sebagian merupakan negara berkembang. Peran OECD diharapkan menjadi watch dog dalam praktik bisnis di negara-negara berkembang yang masih banyak melakukan pelanggaran HAM. Selain sebagai upaya perlindungan HAM, UNGPs dan standar yang ditetapkan OECD juga dapat digunakan untuk memberikan dorongan bagi sektor industri untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19, karena memaksa adanya Responsible Business Conduct (RBC). Bisnis yang bertahan di masa pandemi ini tidak hanya akan memiliki sistem pengelolaan yang taat pada perundang-undangan lokal, namun juga aktif memberikan kontribusi bagi pemenuhan HAM bagi karyawan maupun masyarakat terdampak dalam aktivitas bisnisnya.

Narasumber dari Forum Asia yakni Lorenzo memberikan contoh negara Thailand sebagai negara pertama di Asia yang menerapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait bisnis dan HAM. Penerapan RAN di Thailand menghadapi tantangan seperti minimnya transparansi dan akuntabilitas, kerangka pengawasan yang tidak jelas sebagai upaya memastikan keselarasan UNGPs, serta terbatasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalam menentukan poin-poin prioritas RAN Thailand. Tantangan ini menurut Lorenzo dapat menjadi pelajaran penerapan RANHAM di Indonesia agar berjalan lebih efektif.

Dalam sesi terakhir, juga dibahas secara singkat korelasi UU Cipta Kerja (UUCK) yang telah disahkan. Andi Muttaqien (narasumber) menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja disatu sisi memudahkan pemodal melaksanakan investasi bisnisnya di Indonesia, namun di sisi lain, agenda penegakan HAM masih perlu ditingkatkan. UUCK memiliki beberapa masalah yang sebagian masih merugikan masyarakat pekerja. Oleh karena itu, penerapan UUCK masih perlu dikaji lebih lanjut agar UUCK tidak hanya mendukung pertumbuhan bisnis di Indonesia, tapi juga memberikan perlindungan HAM bagi buruh dan masyarakat terdampak.