A Series of Tea Talk on Pandemic and Society “Strategi Pertahanan dan Perjuangan Pekerja Migran Indonesia Pada Masa Pandemi COVID-19”

Oleh: CTSS

CTSS IPB University Hadirkan Aktivis Migran di Tengah Pandemi.

Sampai saat ini, pemerintah belum sepenuhnya memberikan layanan yang baik bagi buruh migran Indonesia. Padahal buruh migran dari Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 10 ribu orang setiap tahunnya. Di samping itu, isu kekerasan terhadap buruh migran turut menjadi polemik terhadap dunia migran Indonesia. Namun kondisi pandemi saat ini seperti menutup polemik tersebut dari publik.

Melihat kondisi tersebut, Center for Transdisiplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University menghadirkan tokoh migran Indonesia untuk hadir dalam acara serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk, 15/10. Tokoh tersebut adalah Eni Lestari dan Arumy Marzudhy. Pada kesempatan ini juga dihadirkan Dr Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Padjajaran.

Dr Neviaty P. Zamani, Head of Outreach and Capacity Building Division CTSS IPB University menjelaskan, di media sosial maupun masyarakat umum tidak banyak yang membicarakan buruh migran tersebut. Padahal, buruh migran menjadi salah satu pendukung dalam perekonomian nasional.

“Mereka adalah salah satu penghasil devisa kita, dengan adanya kasus seperti ini, kita akan membahas secara langsung polemik tersebut bersama praktisi dan pakar sosial,” katanya.

Dalam paparannya, Eni Lestari, Ketua International Migrant Alliance menjelaskan jumlah buruh migran Indonesia mencapai 9 juta orang. Jumlah tersebut 70 persen adalah buruh wanita. Buruh migran Indonesia tersebar hampir seluruh benua dan terbesar di Asia.

“Rata-rata mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti pegawai rumah tangga, pabrik, perkebunan, anak buah kapal. Beberapa dari mereka juga bekerja di semi formal seperti pelayaran, perhotelan dan perawat,” kata Eni.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi buruh migran diperlakukan layaknya barang atau komoditas. Beberapa migran bekerja pada jenis pekerjaan kotor, berbahaya, dan tidak manusiawi meski berketerampilan. Ia juga menjelaskan buruh migran kerap menjadi korban perdagangan manusia, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual, psikologi dan traficking.

Oleh sebab itu, buruh migran membangun serikat dan asosiasi. Serikat ini dimaksudkan untuk mengorganisir dan memberikan pendampingan kasus, advokasi dan mobilisasi. Tidak hanya itu, asosiasi tersebut juga berusaha memberi solidaritas dengan perjuangan lokal.

Pada kesempatan ini, Eni juga menjelaskan kondisi para buruh migran dalam menghadapi pandemi COVID-19. Selama pandemi berlangsung, beberapa migran terinfeksi oleh COVID-19 dan ada yang meninggal. Para migran juga terkena PHK dan kesulitan mencari kerja. Di samping itu, tidak sedikit buruh migran yang mengalami stres fisik, psikologi dan keuangan karena tekanan kerja bahkan ada yang mengalami kelaparan.

Sementara, Arumi Marzudhy, Pekerja Migran Indonesia (PMI) justru memilih pulang dan membuka usahanya di tanah air. Sebagai kelompok yang terdampak secara langsung oleh pandemi COVID-19, Arumi telah melakukan banyak hal. Dalam membangun usahanya, ia semakin menggencarkan penjualan produknya melalui pasar online, melakukan penganekaragaman produk, menjaga dan mengembangkan jejaring komunikasi dengan kawan-kawan pekerja migran yang masih ada di negara penempatan serta membuka layanan sub-agen pengiriman barang.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Jendral Soedirman. Tyas menjelaskan, selama pandemi berlangsung, banyak pekerja migran Indonesia (PMI) yang kembali ke tanah air. Para PMI lebih memilih kembali ke tanah air karena khawatir permasalahan yang akan dihadapi di negara tempatnya bekerja.

Berdasarkan data yang dirilis Migrant Care 2020, PMI rentan terpapar atau tertular virus COVID-19 karena berada di wilayah seputar episentrum COVID-19 seperti di China. PMI juga rentan distigma sebagai pembawa virus sehingga mengalami pembatasan mobilitas dan diskriminasi pelayanan. Tidak hanya itu, PMI juga rentan mengalami penambahan beban kerja sehingga sangat potensial berkonflik dengan majikan.