Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa

 

Oleh: Yayasan Penabulu

Risalah untuk Rural ICT Camp 2020

Kegiatan Rural ICT Camp 2020 merupakan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia, khususnya pedesaan dan wilayah terpencil. Kegiatan yang dimotori oleh Kasepuhan Cipta Gelar bekerjasama dengan Common Room Networks Foundation dilakukan tanggal 12 – 14 Oktober 2020 melalui rangkaian diskusi, lokakarya serta pameran yang terkait dengan upaya pengembangan infrastruktur internet berbasis komunitas lokal.

ICT Rural Camp terbagi dalam bebeapa pola yakni: seminar, workshop dan diskusi yang semuanya dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan platform zoom meeting. Pada workshop hari ke-2 bertema: “Memajukan Kebudayaan dari Desa” dengan para pembicara: Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya Kemendikbud: Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT, Bito Wikantosa, SS., M.Hum., Dr. Inang Winarso – Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jabar dan Imas Subariah dari Teater Satu Lampung.

Diawali dengan sharing pengalaman praksis dari Ibu Imas – Teater Satu Lampung. Mereka menemukan kondisi bahwa pandemi ini membuat masyarakat dan komunitas-komunitas penggiat budaya tidak bisa lagi mengeksplorasi seni dan budaya lokal secara optimal misalnya event-event budaya yang harus dilakukan secara virtual. Hal ini dikarenakan masyarakat desa dan komunitas belum memiliki pengetahuan tentang teknologi informasi khususnya internet secara baik terutama untuk hal-hal yang bersifat eksebisi. Diharapkan peran karang taruna desa menjadi lebih menghidupi IT, terutama desa yang seni dan budaya nya menjadi bagian hidup masyarakat. Misalnya karang taruna mengelola channel youtube desa maupun medsos desa lainnya. Harapannya adalah: Optimalisasi Literasi Teknologi dan Literasi Digital di tingkat desa, mengapa? Karena saat ini masih banyak program pemerintah yang tidak melakukan research dalam implementasi program teknologi (contoh sederhana terkait dengan ketepatan pemilihan provider di desa).

Sedangkan Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT yakni Bapak Bito Wikantosa menyampaikan bahwa, Permedes 13/2020 tentang Prioritas Dana Desa 2021 sudah mengakomodir pemanfaatan teknologi informasi desa, misalnya desa akan memanfaatkan untuk kebutuhan internet desa (mulai dari pasang tower, pembelian peralatan wifi, pulsa, dll), hal ini untuk mewujudkan 18 SDGs Desa terutama tentang ‘Budaya Desa yang Dinamis dan Adaptif.’ Namun, disampaikan juga oleh bapak Bito bahwa desa perlu juga mulai mengoptimalkan pelayanan sosial dasar terutama kesehatan masyarakat, misalnya pencegahan stunting, isu anak dan perempuan, kesehatan lingkungan, dll.

Pentingnya ICT digital bagi desa adalah untuk melindungi knowledge managemen di tingkat desa dan bukan sebaliknya, hal tersebut disampaikan oleh bapak Inang dari Asosiasi Antropologi Indonesia Penda Jabar. Menurut pak Inang, saat ini urbanisasi merupakan brand frame masyarakat desa untuk mencari penghidupan di kota. Dalam dikotomi desa-kota, desa dipandang sebagai sejarah dengan jargon dan narasi kontra dan branding bahwa hidup di kota lebih sejahtera dibandingkan hidup di desa. Namun ketika masa pandemi seperti sekarang ini, dikotomi tersebut berbalik 180 derajat. Saat ini desa menjadi tempat ‘pelarian’ para korban pandemi covid-19 terutama mereka yang mencari penghidupan di kota. Mengapa desa tidak terlalu terdampak secara sosial oleh pandemi? Karena kekuatan gotong royong tetap menjadi andalan dan kekuatan desa di masa pandemi dan penyelamat masyarakat kota. Oleh karena itu Pemajuan Kebuadayaan dari Desa merupakan sebuah strategi yang pembangunan yang tepat dan SDGs memang sebaiknya dimulai dari desa.

Narasumber terakhir dalam workshop yang menarik ini adalah Bapak Restu Gunawan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya, Kemendikbud. Pak Restu menekankan pentingnya Desa menjadi Lumbung Budaya. Hal ini dikaitkan dengan pemajuan kebudayaan dan pembangunan budaya. Pembangunan budaya menitiberatkan pada: ekonomi budaya, pendidikan budaya, ketahanan budaya dan literasi budaya. Mengapa desa perlu menjadi lumbung budaya? Secara politis, desa menjadi pusat stabilitas politik agar orang kota tidak bergejolak. Hal ini berdampak pada harga hasil produk pertanian yang selalu tetap dan tidak memberi banyak keuntungan bagi petani, tetapi lebih pada subsisten, namun secara politis gejolak perkotaan bisa ditekan. Bagaimana dengan literasi desa? Desa bisa melengkapi data desa seperti sejarah desa, lintas budaya desa, kemitraan desa, dll secara valid.

Dimisalkan, literasi desa itu juga memuat tentang cerita tutur dan tradisi menjaga bencana yang dikemas dalam model digital kemudian dikelola menjadi cerita budaya desa dan dimasukkan dalam rencana aksi desa tahunan atau jangka panjang melalui perencanaan desa. Saat ini di Indonesia ada 357 desa yang sudah membuat PPKD (Perencanaan Pemajuan Kebudayaan Desa). Desa juga memerlukan komunitas pendukung yang mendorong kerja-kerja budaya di desa, sehingga bisa menata simpul simpul gerakan budaya desa seperti seniman mengajar, desa menari, desa wisata budaya, dll. Di bagian akhir pak Inang menutup dengan pernyataan bahwa desa bisa mengkapitalisasi kemajuan informasi tetapi pembangunan desa yang utama tetap untuk memperkuat keindonesiaan dan bukan memperkuat kapital desa semata.

Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan disampaikan oleh peserta terutama terkait dengan: prioritas DD 2021, upaya mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dan fungsi digitalisasi desa. Pertanyaan tersebut dijawab oleh bapak Bito dan bapak Inang dengan cukup detil sebagai berikut:

“ Bahwa prioritas DD tahun 2021, secara umum bisa dikelola untuk mewujudkan desa digital dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti bantuan tunai, pengadaan tower desa, maupun pengadaan peralatan teknologi informasi (wifi, kabel, pulsa, dll) dengan syarat dilakukan melalui proses perencanaan desa / musrenbang desa. Pengadaan sarana informasi desa bisa juga melalui kerjasama antar desa (BKAD) ataupun BUMDes melakukan kerjasama dengan penyedia provider. Sedangkan Dana Desa terkait dengan pandemi diatur langsung dari pemerintah pusat. Refungsi kebudayaan desa dilakukan dengan mempercepat bertemunya tradisi dan teknologi modern dalam tradisi berdesa dalam hal ini internet sebagai alat fungsional dan tidak untuk menegasi tradisi desa.’

Sedangkan pertanyaan terkait dengan mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dijawab oleh bapak Inang dengan penjelasan, “ Perbanyak partisipasi kaum muda desa dalam kegiatan kebudayaan, hal ini akan menjadi outstanding tradisi desa, karena fungsi teknologi digital untuk pengembangan budaya lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Teknologi kebudayaan harus diperkenalkan kepada generasi muda untuk menjaga agar pemajuan kebudayaan lokal tetap berlangsung.”

Tanggapan dari kedua narasumber tersebut menjadi penutup kegiatan workshop “Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa” yang menjadi upaya kolaboratif konsolidasi ide, praktik, inisiatif dan regulasi dalam mengembangkan infrstruktur internet berbasis komunitas terutama komunitas lokal pedesaan. (FSP)