Kondisi Pangan dan Masyarakat Indonesia Saat Ini

Oleh: CTSS

Knowledge Platform adalah salah satu dari program di CTSS yang diselenggarakan secara rutin setiap bulannya. Kegiatan Knowledge Platform diadakan dalam bentuk diskusi yang diberi tajuk Transdisciplinary Tea Talk (TTT) dan ADReF (Afternoon Discussion on Redesigning the Future).  Dalam salah satu kegiatan TTT yang baru-baru ini diselenggarakan di bulan Juni 2020,  CTSS mengundang Dr Laksmi Adriani Savitri, Ketua Dewan Nasional Food Information and Action Network Indonesia (FIAN). Topik yang dibicarakan adalah Pandemi dan Ekonomi Politik Pangan.

Dalam menelisik hubungan pandemi COVID-19 dengan ekonomi politik pangan, Laksmi menguraikan bahwa problem struktural pangan dalam global food system turut berkontribusi dalam menciptakan pandemi, dan keadaan pandemik menjadikan persoalan pangan semakin kompleks. Hal ini terjadi karena sistem pangan global dari hulu hingga hilir pada umumnya berdasarkan pada pertanian secara monokultur, rantai pasok yang panjang, tingginya sumbangan pada angka deforestrasi, erosi top soil, permasalahan kekeringan, perubahan iklim dan akses pangan yang tidak merata.

Masalah pangan merupakan isu yang terus menjadi sorotan oleh banyak pihak di berbagai belahan dunia. Saat ini semua pihak sedang menghadapi globalisasi sistem pangan yang ditandai dengan gagasan dan praktik productionism, regional specialization, trade liberalisation, vertical integration, dan vertical concentration. Di Indonesia sistem pangan global ini terbentuk dari suatu proses dalam momen sejarah yang relatif panjang dan dimulai sejak era kolonial hingga saat ini.

Selain terkait produksi dan distribusi dalam system pangan, persoalan pangan juga mencakup persoalan kandungan pangan yang dikonsumsi seperti kecukupan kalori dan protein. Di Indonesia sendiri, kasus kelaparan ini perlu perhatian serius karena berdasarkan laporan Global Hunger Index tahun 2018, persoalan kelaparan di Indonesia berada pada peringkat 73 di dunia dengan skor 21,9 atau berada pada level yang serius. Bahkan di Asia Tenggara, skor Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Laos. Kelaparan tersebut dihitung bukan hanya dari  angka kematian maupun kekurangan makanan saja, tetapi juga termasuk kekurangan nutrisi.

Selain akses pangan yang tidak memadai, faktor ekonomi juga menjadi kunci utama bagi masyarakat dalam mendapatkan akses pangan. Ekonomi masyarakat yang masih mengandalkan pertanian, terutama masyarakat yang berada di kawasan hutan dan sekitar hutan maupun perkebunan, sangat bergantung pada hasil hutan dan perkebunan yang diperoleh. Namun, adanya kebakaran hutan dan lahan belakangan ini turut memperburuk kondisi ekonomi dan ketahanan pangan masyarakat kecil terutama petani.

Pasalnya, masyarakat yang mengandalkan sumber daya hutan dan perkebunan tidak lagi mempunyai penghasilan akibat lahan yang dikelola terbakar. Kebakaran hutan dan lahan ini turut memberikan dampak secara luas bagi masyarakat, terutama dalam penyediaan pangan. Di samping tidak mendapatkan penghasilan akibat lahan terbakar, masyarakat juga tidak lagi memiliki cadangan pangan yang cukup karena tidak ada hasil panen yang didapatkan.

Dalam kondisisi krisis seperti ini lalu pijar apa yang masih patut diharapkan? Setidaknya, masih muncul gerakan baik ditingkat lokal maupun global untuk memproblematisasi persoalan struktural dalam sistem pangan global dan adanya inisiatif gerakan aksi produsen pangan untuk dapat bertemu secara langsung dengan konsumen dalam skala lokal.