Mbok Prami, Dari Kopi Kami Hidup dan Menghidupi

Oleh: Desa Lestari

Mbok Prami, panggilan sehari-hari. Seorang Ibu dari 2 orang anak dan seorang petani kopi. Hampir 50 tahun dia hidup di muka bumi ini dan selama dia hidup, kopilah yang menafkahi dari masih sebagai anak bahkan sekarang sudah memiliki anak.

Mbok Prami

Kopi baginya adalah jantung kehidupan. Hampir semua Sarjana yang berasal dari Kecamatan Pupuan, biayanya dari penghasilan kebun Kopi. Yang mana Kopi Robusta Pupuan sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.

Dengan memiliki luas lahan 30 Are kebun kopi, disitulah penghasilan keluarga Mbok Prami. Tanaman Kopi yang harus memiliki tanaman lain sebagai pelindung, Dia tanam, tanaman buah seperti Duren, Alpukat, dan Manggis serta beberapa tanaman lain seperti cengkeh sebagai tanaman pelindung.

Di sebelah bawah dekat sungai, Iya tanami dengan Bambu Tabah untuk mencegah erosi. Sehingga selain pendapatan keluarga dari Kopi, tanaman lain juga menambah pendapatan. Bahkan untuk menambah pendapatan lebih, Iya juga menjadi buruh tani di kebun warga.

Selama ini Kopi yang dihasilkan dijual langsung ke pengepul dalam bentuk buah segar (cerri) dengan kualitas buah asalan (campur). Sebenarnya Iya bisa saja menjual yang hanya buah merah saja, namun menurutnya memetik asalan tidak banyak memakan waktu, sehingga diwaktu lain bisa bekerja sebagai buruh tani.

Pada akhir tahun 2019, Iya mengikuti pelatihan olahan produk berbahan kopi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Desa Lestari dalam Program Kampung Berseri Astra. Pada pelatihan ini, Iya dengan 29 orang lainnya belajar cara membuat berbagai produk olahan dengan berbahan campuran kopi, seperti kerupuk kopi, stik kopi, biscuit kopi dan ice cream kopi. Iya dan  peserta lainnya sangat terkejut, bahwasanya kopi yang selama ini Iya kenal bisa diolah lagi. “Saya udah puluhan tahun mengenal dan hidup dari kopi, tapi baru tau sekarang kopi bisa dijadikan kerupuk” kata Mbok Prami saat ditanya kesan dari pelatihan itu.

Pasca mengikuti pelatihan tersebut, Iya dan beberapa yang lainnya memproduksi kerupuk kopi dan stik kopi di bawah naungan Bumdesma Pupuan. Dengan bantuan Program Kampung Berseri Astra, peralatan dan bahan produksi sudah disiapkan. Beberapa kali uji coba mereka lakukan untuk menemukan rasa yang pas menurut mereka agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Sekarang  Iya dan yang lainnya sudah memproduksi Kerupuk dan stik kopi dengan merk dagang “Batukaru” di bawah bendera Bumdesma Pupuan. Dari hasil produksi ini menambah pendapatan ekonomi, dimana penambahan pendapatan ini sangat membantu pada masa-masa pandemic Covid-19 sekarang.

Impian Pak Griswara, Petani Bambu Tabah dari Batungsel

 

Oleh: Desa Lestari

Sore itu tepatnya tanggal 26 Februari 2019, setelah mengantar lalu  menaruh karung berisi beberapa batang rebung bambu tabah untuk disetor kepada Koperasi Tunas Bambu Lestari,  lelaki itu menunggu. Menurut catatan pembelian koperasi namanya tertulis Kiswara, beliau berumur 61 tahun, sudah mempunyai cucunya tiga. Berdasarkan cerita pengurus Koperasi sampai bulan Februari ini adalah kali ke empat Griswara menjual rebung bambu tabah kepada koperasi Tunas Bambu Lestari di Desa Padangan, Kec.Pupuan, Kab. Tabanan.

Pak Griswara

Pak Griswara adalah salah satu petani dari Desa Batungsel, yang merasakan manfaat Program Kampung Berseri Astra-Desa Sejahtera Tabanan dari dua ratusan lima puluhan petani yang terpapar program. Jarak kebun bambu tabahnya ke koperasi dua km. Dalam dua hari sekali  Kiswara menjual rebungnya. Dia berjalan kaki selepas kerja kebun, biasanya sore hari. Griswara senang, 20 rumpun bambu tabah yang ditanamnya tiga tahun lalu sekarang menghasilkan. “Petani di sekitar kebunnya saat ini baru mulai tanam, setelah tahu koperasi membelinya. Saya sudah bisa menjual walau masih sedikit.” begitu menerangkan kepada saya.“Bisa menambah pendapatan disaat komoditas tidak begitu ada hasilnya.” tambahnya.

Panen rebung bambu tabah di Kecamatan Pupuan memang baru banyak-banyaknya. Hal itu terjadi karena musim penghujan yang mundur ke bulan Desember, sehingga Februari-Maret menjadi puncak masapanen.  Jika harga di pasar tradisional sebatang rebung bambu tabah dijual paling tinggi dua ribu lima ratus rupiah, itupun kadang  dibayar tunda. Namun di koperasi rebung grade A Jumbo ihargai tiga ribu rupiah dan dibayar tunai. Terima tunai ini menggairahkan petani untuk memanen rebung bambu tabah. Petani juga mulai merawat rumpun. Jika bulan Januari baru ada delapan petani yang menjual ke koperasi, bulan Februari ini telah lebih dari 45 petani di 9 Desa di kecamatan Pupuan yang mendapat penghasilan dari rebung bambu tabah. Uang yang beredar untuk pembelian rebung sudah mendekati dua puluh lima juta. Kita belum menghitung rebung yang dibeli oleh BUM Desa Padangan juga melakukan pembelian. Rebung bambu tabah saat ini mampu memberikan tambahan pendapatan bagi petani di saat komuditas lain seperti kopi dan buah mulai langka.

Program ini diharapkan menyentuh banyak petani di 14 Desa di kecamatan Pupuan. Desa Lestari bekerjasama dengan  Astra dan Pemda Tabanan melalui Dinas Ketahanan Pangan sedang mengupayakan hal itu.

Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa

 

Oleh: Yayasan Penabulu

Risalah untuk Rural ICT Camp 2020

Kegiatan Rural ICT Camp 2020 merupakan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia, khususnya pedesaan dan wilayah terpencil. Kegiatan yang dimotori oleh Kasepuhan Cipta Gelar bekerjasama dengan Common Room Networks Foundation dilakukan tanggal 12 – 14 Oktober 2020 melalui rangkaian diskusi, lokakarya serta pameran yang terkait dengan upaya pengembangan infrastruktur internet berbasis komunitas lokal.

ICT Rural Camp terbagi dalam bebeapa pola yakni: seminar, workshop dan diskusi yang semuanya dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan platform zoom meeting. Pada workshop hari ke-2 bertema: “Memajukan Kebudayaan dari Desa” dengan para pembicara: Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya Kemendikbud: Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT, Bito Wikantosa, SS., M.Hum., Dr. Inang Winarso – Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jabar dan Imas Subariah dari Teater Satu Lampung.

Diawali dengan sharing pengalaman praksis dari Ibu Imas – Teater Satu Lampung. Mereka menemukan kondisi bahwa pandemi ini membuat masyarakat dan komunitas-komunitas penggiat budaya tidak bisa lagi mengeksplorasi seni dan budaya lokal secara optimal misalnya event-event budaya yang harus dilakukan secara virtual. Hal ini dikarenakan masyarakat desa dan komunitas belum memiliki pengetahuan tentang teknologi informasi khususnya internet secara baik terutama untuk hal-hal yang bersifat eksebisi. Diharapkan peran karang taruna desa menjadi lebih menghidupi IT, terutama desa yang seni dan budaya nya menjadi bagian hidup masyarakat. Misalnya karang taruna mengelola channel youtube desa maupun medsos desa lainnya. Harapannya adalah: Optimalisasi Literasi Teknologi dan Literasi Digital di tingkat desa, mengapa? Karena saat ini masih banyak program pemerintah yang tidak melakukan research dalam implementasi program teknologi (contoh sederhana terkait dengan ketepatan pemilihan provider di desa).

Sedangkan Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT yakni Bapak Bito Wikantosa menyampaikan bahwa, Permedes 13/2020 tentang Prioritas Dana Desa 2021 sudah mengakomodir pemanfaatan teknologi informasi desa, misalnya desa akan memanfaatkan untuk kebutuhan internet desa (mulai dari pasang tower, pembelian peralatan wifi, pulsa, dll), hal ini untuk mewujudkan 18 SDGs Desa terutama tentang ‘Budaya Desa yang Dinamis dan Adaptif.’ Namun, disampaikan juga oleh bapak Bito bahwa desa perlu juga mulai mengoptimalkan pelayanan sosial dasar terutama kesehatan masyarakat, misalnya pencegahan stunting, isu anak dan perempuan, kesehatan lingkungan, dll.

Pentingnya ICT digital bagi desa adalah untuk melindungi knowledge managemen di tingkat desa dan bukan sebaliknya, hal tersebut disampaikan oleh bapak Inang dari Asosiasi Antropologi Indonesia Penda Jabar. Menurut pak Inang, saat ini urbanisasi merupakan brand frame masyarakat desa untuk mencari penghidupan di kota. Dalam dikotomi desa-kota, desa dipandang sebagai sejarah dengan jargon dan narasi kontra dan branding bahwa hidup di kota lebih sejahtera dibandingkan hidup di desa. Namun ketika masa pandemi seperti sekarang ini, dikotomi tersebut berbalik 180 derajat. Saat ini desa menjadi tempat ‘pelarian’ para korban pandemi covid-19 terutama mereka yang mencari penghidupan di kota. Mengapa desa tidak terlalu terdampak secara sosial oleh pandemi? Karena kekuatan gotong royong tetap menjadi andalan dan kekuatan desa di masa pandemi dan penyelamat masyarakat kota. Oleh karena itu Pemajuan Kebuadayaan dari Desa merupakan sebuah strategi yang pembangunan yang tepat dan SDGs memang sebaiknya dimulai dari desa.

Narasumber terakhir dalam workshop yang menarik ini adalah Bapak Restu Gunawan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya, Kemendikbud. Pak Restu menekankan pentingnya Desa menjadi Lumbung Budaya. Hal ini dikaitkan dengan pemajuan kebudayaan dan pembangunan budaya. Pembangunan budaya menitiberatkan pada: ekonomi budaya, pendidikan budaya, ketahanan budaya dan literasi budaya. Mengapa desa perlu menjadi lumbung budaya? Secara politis, desa menjadi pusat stabilitas politik agar orang kota tidak bergejolak. Hal ini berdampak pada harga hasil produk pertanian yang selalu tetap dan tidak memberi banyak keuntungan bagi petani, tetapi lebih pada subsisten, namun secara politis gejolak perkotaan bisa ditekan. Bagaimana dengan literasi desa? Desa bisa melengkapi data desa seperti sejarah desa, lintas budaya desa, kemitraan desa, dll secara valid.

Dimisalkan, literasi desa itu juga memuat tentang cerita tutur dan tradisi menjaga bencana yang dikemas dalam model digital kemudian dikelola menjadi cerita budaya desa dan dimasukkan dalam rencana aksi desa tahunan atau jangka panjang melalui perencanaan desa. Saat ini di Indonesia ada 357 desa yang sudah membuat PPKD (Perencanaan Pemajuan Kebudayaan Desa). Desa juga memerlukan komunitas pendukung yang mendorong kerja-kerja budaya di desa, sehingga bisa menata simpul simpul gerakan budaya desa seperti seniman mengajar, desa menari, desa wisata budaya, dll. Di bagian akhir pak Inang menutup dengan pernyataan bahwa desa bisa mengkapitalisasi kemajuan informasi tetapi pembangunan desa yang utama tetap untuk memperkuat keindonesiaan dan bukan memperkuat kapital desa semata.

Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan disampaikan oleh peserta terutama terkait dengan: prioritas DD 2021, upaya mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dan fungsi digitalisasi desa. Pertanyaan tersebut dijawab oleh bapak Bito dan bapak Inang dengan cukup detil sebagai berikut:

“ Bahwa prioritas DD tahun 2021, secara umum bisa dikelola untuk mewujudkan desa digital dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti bantuan tunai, pengadaan tower desa, maupun pengadaan peralatan teknologi informasi (wifi, kabel, pulsa, dll) dengan syarat dilakukan melalui proses perencanaan desa / musrenbang desa. Pengadaan sarana informasi desa bisa juga melalui kerjasama antar desa (BKAD) ataupun BUMDes melakukan kerjasama dengan penyedia provider. Sedangkan Dana Desa terkait dengan pandemi diatur langsung dari pemerintah pusat. Refungsi kebudayaan desa dilakukan dengan mempercepat bertemunya tradisi dan teknologi modern dalam tradisi berdesa dalam hal ini internet sebagai alat fungsional dan tidak untuk menegasi tradisi desa.’

Sedangkan pertanyaan terkait dengan mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dijawab oleh bapak Inang dengan penjelasan, “ Perbanyak partisipasi kaum muda desa dalam kegiatan kebudayaan, hal ini akan menjadi outstanding tradisi desa, karena fungsi teknologi digital untuk pengembangan budaya lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Teknologi kebudayaan harus diperkenalkan kepada generasi muda untuk menjaga agar pemajuan kebudayaan lokal tetap berlangsung.”

Tanggapan dari kedua narasumber tersebut menjadi penutup kegiatan workshop “Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa” yang menjadi upaya kolaboratif konsolidasi ide, praktik, inisiatif dan regulasi dalam mengembangkan infrstruktur internet berbasis komunitas terutama komunitas lokal pedesaan. (FSP)

A Series of Tea Talk on Pandemic and Society “Strategi Pertahanan dan Perjuangan Pekerja Migran Indonesia Pada Masa Pandemi COVID-19”

Oleh: CTSS

CTSS IPB University Hadirkan Aktivis Migran di Tengah Pandemi.

Sampai saat ini, pemerintah belum sepenuhnya memberikan layanan yang baik bagi buruh migran Indonesia. Padahal buruh migran dari Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 10 ribu orang setiap tahunnya. Di samping itu, isu kekerasan terhadap buruh migran turut menjadi polemik terhadap dunia migran Indonesia. Namun kondisi pandemi saat ini seperti menutup polemik tersebut dari publik.

Melihat kondisi tersebut, Center for Transdisiplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University menghadirkan tokoh migran Indonesia untuk hadir dalam acara serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk, 15/10. Tokoh tersebut adalah Eni Lestari dan Arumy Marzudhy. Pada kesempatan ini juga dihadirkan Dr Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Padjajaran.

Dr Neviaty P. Zamani, Head of Outreach and Capacity Building Division CTSS IPB University menjelaskan, di media sosial maupun masyarakat umum tidak banyak yang membicarakan buruh migran tersebut. Padahal, buruh migran menjadi salah satu pendukung dalam perekonomian nasional.

“Mereka adalah salah satu penghasil devisa kita, dengan adanya kasus seperti ini, kita akan membahas secara langsung polemik tersebut bersama praktisi dan pakar sosial,” katanya.

Dalam paparannya, Eni Lestari, Ketua International Migrant Alliance menjelaskan jumlah buruh migran Indonesia mencapai 9 juta orang. Jumlah tersebut 70 persen adalah buruh wanita. Buruh migran Indonesia tersebar hampir seluruh benua dan terbesar di Asia.

“Rata-rata mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti pegawai rumah tangga, pabrik, perkebunan, anak buah kapal. Beberapa dari mereka juga bekerja di semi formal seperti pelayaran, perhotelan dan perawat,” kata Eni.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi buruh migran diperlakukan layaknya barang atau komoditas. Beberapa migran bekerja pada jenis pekerjaan kotor, berbahaya, dan tidak manusiawi meski berketerampilan. Ia juga menjelaskan buruh migran kerap menjadi korban perdagangan manusia, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual, psikologi dan traficking.

Oleh sebab itu, buruh migran membangun serikat dan asosiasi. Serikat ini dimaksudkan untuk mengorganisir dan memberikan pendampingan kasus, advokasi dan mobilisasi. Tidak hanya itu, asosiasi tersebut juga berusaha memberi solidaritas dengan perjuangan lokal.

Pada kesempatan ini, Eni juga menjelaskan kondisi para buruh migran dalam menghadapi pandemi COVID-19. Selama pandemi berlangsung, beberapa migran terinfeksi oleh COVID-19 dan ada yang meninggal. Para migran juga terkena PHK dan kesulitan mencari kerja. Di samping itu, tidak sedikit buruh migran yang mengalami stres fisik, psikologi dan keuangan karena tekanan kerja bahkan ada yang mengalami kelaparan.

Sementara, Arumi Marzudhy, Pekerja Migran Indonesia (PMI) justru memilih pulang dan membuka usahanya di tanah air. Sebagai kelompok yang terdampak secara langsung oleh pandemi COVID-19, Arumi telah melakukan banyak hal. Dalam membangun usahanya, ia semakin menggencarkan penjualan produknya melalui pasar online, melakukan penganekaragaman produk, menjaga dan mengembangkan jejaring komunikasi dengan kawan-kawan pekerja migran yang masih ada di negara penempatan serta membuka layanan sub-agen pengiriman barang.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Jendral Soedirman. Tyas menjelaskan, selama pandemi berlangsung, banyak pekerja migran Indonesia (PMI) yang kembali ke tanah air. Para PMI lebih memilih kembali ke tanah air karena khawatir permasalahan yang akan dihadapi di negara tempatnya bekerja.

Berdasarkan data yang dirilis Migrant Care 2020, PMI rentan terpapar atau tertular virus COVID-19 karena berada di wilayah seputar episentrum COVID-19 seperti di China. PMI juga rentan distigma sebagai pembawa virus sehingga mengalami pembatasan mobilitas dan diskriminasi pelayanan. Tidak hanya itu, PMI juga rentan mengalami penambahan beban kerja sehingga sangat potensial berkonflik dengan majikan.

Pengembangan Ekonomi Hijau di Kawasan Petungkriyono

Oleh: Relung Indonesia

Oase Keanekaragaman Hayati di Jawa Tengah

Dalam kurun 10 tahun belakangan Petungkriyono banyak menjadi perbincangan hangat di masyarakat Kabupaten Pekalongan dan Jawa Tengah. Terdapat beberapa isu menarik yang menjadi pusat perhatian masyarakat terkait wilayah kecamatan yang mempunyai tutupan hutan yang masih hijau, hawa sejuk dan air sungai yang masih mengalir jernih ini. Petungkriyono merupakan wilayah dengan hutan yang masih lebat dan beberapa hewan langka seperti Owa Jawa dan Harimau Kumbang di dalamnya. Petungkriyono juga dikenal sebagai penghasil kopi yang enak, baik dari jenis robusta maupun arabica. Kemudian dalam perkembangannya Petungkriyono banyak dikunjungi masyarakat, khususya generasi muda yang ingin berwisata, mengunjungi obyek-obyek alam seperti air terjun atau melakukan kegiatan wisata air seperti water tubing.

Kecamatan Petungkriyono merupakan daerah pegunungan dibagian selatan Kabupaten Pekalongan dengan ketinggian antara 600-2100 meter di atas permukaan air laut. dimana sebagian wilayah merupakan daerah dataran tinggi yang masuk dalam deretan Pegunungan Serayu Utara. Di sebelah selatan wilayah kecamatan ini merupakan Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang merupakan salah satu ikon wisata alam di Jawa Tengah. Terdapat rangkaian beberapa gunung di wilayah ini  seperti Gunung Rogojembangan, Gunung Kendalisodo, Gunung Sikeru, Gunung Perbata, Gunung Geni, dan Gunung Kukusan.  Topografi yang bergununug-gunung di selingi hamparan sawah yang berteras-teras, hutan yang masih hijau dan air sungai yang jernih membentuk bentang alam yang sangat indah bagi orang yang memandangnya.

Petungkriyono punya banyak alasan untuk menjadi perhatian kita semua. Irma Damayanti dkk (2018) menyatakan bahwa Petungkriyono paling tidak mempunyai 3 aspek yang menarik untuk kita perhatikan, yaitu: hutan dan keanekargaman hayatinya, peninggalan arkeologis dan juga fenomena bentang alam yang indah. Hal inilah yang menjadi daya tarik kedatangan wisatawan di Petungkriyono yang juga menjadi salah satu penggerak ekonomi masyarakat Petungkriyono.

Hingga saat ini masyarakat telah mengelola lebih dari 10 obyek wisata di Petungkriyono. Obyek tersebut dikelola oleh masyarakat secara pribadi, atau melalui BUMDES dan Pokdarwis. Beberapa obyek juga mendapatkan dukungan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Pekalongan. Berkembangnya obyek wisata yang dikelola masyarakat dan besarnya jumlah pengunjung di Petungkriyono menarik perhatian investor dari luar. Pemerintah Kabupaten pun mulai menyusun rencana untuk memajukan pariwisata di kawasan ini.

Upaya memajukan pariwisata di Petungkriyono oleh berbagai pihak patut untuk diapresiasi. Namun terdapat beberapa hal yang berdasarkan hasil diskusi parapihak dikhawatirkan menjadi dampak negatif dari pengembangan wisata ini. Dampak tersebut berupa peningkatan volume sampah di lahan maupun di aliran sungai serta terbukanya tutupan hutan yang merupakan habitat satwa endemik akibat pelebaran jalan maupun pembangunan infrastruktur wisata lainnya. Untuk itu, Relung Indonesia bersama dengan Yayasan Swaraowa mengusung Program Pengembangan Ekonomi Hijau di Petungkriyono.

Ekonomi Hijau yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah gagasan yang terkait dengan berbagai upaya mengembangkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dengan berpegang pada prinsip kehati-hatian terhadap resiko penurunan kualitas  lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini maka perlu dianalisa berbagai aspek yang terkait dengan implementasi atau pengembangan dari gagasan tentang ekonomi hijau itu sendiri. Beberapa aspek yang dapat dikaji atau dianalisa terkait dengan pengembangan gagasasan ekonomi hijau ini paling meliputi aspek potensi dan peluang yang ada dan juga persoalan-persoalan yang dianggap akan menghambat dari pengembangan ekonomi hijau sendiri.

Diskursus Tentang Ekonomi Hijau

Diskusi tentang Ekonomi Hijau berarti kita juga sedang mendiskusikan tentang Pembangunan Berkelanjutan sebagai agenda utama pemerintah. Bappenas pada tahun 2014  menyusun sebuah dokumen yang berjudul Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Green Economy.  Dalam dokumen ini ekonomi hijau diartikan dengan:

ekonomi yang terus tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta mengutamakan keadilan sosial[1].

Berdasarkan pengertian di atas maka ekonomi hijau ini dapat diurai ciri atau kharakteristiknya sebagai berikut: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan pekerjaan pada sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumberdaya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan tingkat polusi per GDP yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption).

Ekonomi hijau pertama kali diperkenalkan oleh Pearce et al. pada tahun 1989 sebagai tanggapan terhadap kurangnya penghargaan terhadap biaya lingkungan dan sosial dalam sistem harga saat ini. Sejak itu, konsep ekonomi hijau diperluas. Ekonomi hijau didefinisikan oleh UNEP (United Nations Environment Programme) sebagai salah satu hal yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial, yang secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Ekonomi hijau dapat secara sederhana didefinisikan sebagai ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber daya dan inklusif secara sosial. UNEP menekankan pada pelestarian modal alam, yang meliputi ekosistem dan sumber daya alam.

Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan. Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. Sebagai contoh, meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Di samping itu adalah ketimpangan rata-rata pendapatan penduduk negara kaya dengan negara miskin.Tambahkan beberapa versi pengertian tentang ekonomi hijau.

Pengembangan Potensi Ekonomi Petungkriyono Yang Ramah Lingkungan

Implementasi Ekonomi Hijau di  Kawasan Kecamatan Petungkriyono dapat dilakukan melalui pengembangan potensi ekonomi utama di Petungkriyono. Paling tidak terdapat 3 Potensi Ekonomi Utama di Petungkriyono, yaitu:

  1. Pertanian
  2. Kehutanan
  3. Wisata Alam

Pengembangan 3 potensi ekonomi utama tersebut akan mencerminkan “seberapa hijaukah” pengembangan ekonomi di Petungkriyono. Apakah pengembangan sektor pertaniannya sudah mengarah pada pertanian berkelanjutan? Demikian juga pada sektor kehutanan dan juga pengembangan potensi wisata alam yang ada di sana. Oleh karena itu perlu kiranya untuk mengembangkan gagasan tentang ekonomi hijau terhadap ketiga potensi ekonomi utama di atas.

Beberapa kebijakan atau regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah  terkait dengan ketiga sektor diatas dapat dijadikan dasar dalam pengembangan ekonomi yang ramah lingkungan. Di sektor pertanian misalnya, terdapat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:42/Permentan/SR.140/5/2007 tentang Pengawasan Pestisida. Permen tersebut mengatur produksi, peredaran, penyimpanan, penggunaan serta pemusnahan. Pada Pasal 11 disebutkan bahwa pengawas berkewajiban untuk melakukan pengawasan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pengelolaan pestisida; melakukan pengawasan terhadap kesesuaian jenis dan dosis pestisida serta komoditas dan organisme sasaran yang diizinkan dalam penggunaan pestisida; melakukan pengawasan efikasi dan resurgensi pestisida akibat penggunaan pestisida; melakukan pengawasan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat akibat pengelolaan pestisida; melakukan pengawasan terhadap residu pestisida pada produk pertanian dan media lingkungan. Dalam hal ini Petungkriyono dapat dikembangkan menjadi daerah pengembangan produk pertanian sehat dan ramah lingkungan misalnya.

Apakah pengelolaan hutan di Petungkriyono sudah mencerminkan pembangunan ekonomi hijau? Jika sudah apa saja indikasinya? Demikian juga jika kita rasa bahwa pengelolaan hutan belum memenuhi beberapa kriteria dari pembangunan ekonomi hija, tentunya ada aspek-aspek tertentu dalam pengelolaan hutan yang perlu kita perbaiki, apakah itu terkait dengan keberadaan lahan kritis, laju illegal logging dan illegal hunting, atau perambahan lahan dll.

[1] Hasil interpretasi dari pengertian oleh UNEP, 2011, tentang Green Economy

 

Pilkada Kapuas Hulu, Formasi-Kh Mendorong Hadirnya Green Leadership

Oleh: Yayasan Merangat

Dalam pertemuan yang berlangsung hangat dan akrab bertempat di Café Fanhaus. FORUM ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL KAPUAS HULU disingkat FORMASI-KH telah berhasil melakukan penyegaran kepengurusan dan sekaligus melengkapi struktur pengurus FORMASI-KH pada hari Kamis (15/10/2020). Dalam pertemuan yang difasilitasi Penabulu Aliance tersebut, Stephanus Mulyadi, putera daerah Kapuas Hulu lulusan Universitas Tehnik Dresden, Jerman, terpilih secara aklamasi sebagai ketua (koordinator) FORMASI-KH yang baru menggantikan Hermas Rintik Maring. Hadir dalam pertemuan tersebut 11 (sebelas) orang perwakilan dari berbagai Civil Society Organisation (CSO) anggota FORMASI-KH.

Ditemui seusai pertemuan tersebut, Hermas Rintik Maring, mantan ketua dan salah satu penggagas berdirinya FORMASI-KH mengungkapkan urgensinya melakukan restrukturisasi kepengurusan FORMASI-KH saat ini.

“Restrukturisasi merupakan bagian dari proses refreshing dan regenerasi. Termasuk di dalamnya melakukan penyesuaian dengan tantangan saat ini. Harapannya dengan adanya pengurus baru dengan beberapa divisi baru di dalam struktur, FORMASI-KH dapat ikut ambil bagian lebih besar dalam menjawab tantangan saat ini, termasuk peningkatan peran organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam pembangunan di Kapuas Hulu,” demikian diungkapkan Hermas.

Ditanya apa langkah-langkah yang akan dilakukan oleh FORMASI-KH, Stephanus Mulyadi, pendiri Yayasan Merangat yang sehari-hari aktif di bidang pemberdayaan masyarakat desa dan juga  penggiat pelestarian seni-budaya daerah di Kapuas Hulu, mengatakan ada dua. Pertama, secara internal, pengurus FORMASI-KH akan memperkuat eksistensi dan membangun kekuatan bersama CSO sebagai gerakan social menuju pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu. Dan kedua, kita mendorong isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) masuk dalam visi-misi dan rencana kebijakan pembangunan Bupati dan Wakil Bupati Kapuas Hulu terpilih hasil PILKADA Desember 2020 mendatang.

“Kita berharap, siapapun paslon Bupati-Wakil Bupati Kapuas Hulu terpilih, mereka adalah pemimpin ramah lingkungan (green leadership), tutur Stephanus Mulyadi. Kapuas Hulu, menurutnya, membutuhkan pemimpin ramah lingkungan karena diyakini akan mampu menjawab tuntutan kepemimpinan dalam mengatasi kemiskinan, ketertinggalan, kesenjangan dan perubahan iklim khususnya di Kapuas Hulu melalui kebijakan dan aksi yang nyata yang dialakukan. Dia juga akan mampu memberikan perhatian yang tepat terhadap warga masyarakat yang tinggal di pedesaan yang sumber penghidupannya dari lahan atau alam. Pemimpin ramah lingkungan juga akan mampu membangun pondasi sosial – ekonomi dengan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya alam Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, Heart of Borneo serta cagar biosfer. “Maka kita perlu mendorong hadirnya pemimpin yang peka, paham, mau dan mampu mengupayakan proteksi terhadap keanekaragaman hayati, serta memastikan sumberdaya alam Kapuas Hulu digunakan secara bijaksana untuk hajat hidup masyarakat. FORMASI-KH sendiri telah sepakat untuk mendukung Bupati dan Wakil Bupati terpilih dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan di Kapuas Hulu sesuai dengan kemampuan dan bidang karyanya,” ungkap Stephanus Mulyadi.

Untuk itu, lanjut Stephanus Mulyadi, dalam waktu dekat ini pengurus FORMASI-KH akan mengadakan beberapa seri diskusi. Pertama, akan mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk menyamakan persepsi tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan serta menggali harapan-harapan masyarakat pada ketiga pasang kandidat Bupati-Wakil Bupati terkait isu tersebut. Selanjutnya FORMASI-KH berencana mengadakan dialog dengan ketiga kandidat Bupati dan Wakil Bupati Kapuas Hulu. Selain untuk menyamakan persepsi terhadap pembangunan berkelanjutan juga ingin mendengar komitmen para kandidat terhadap pembangunan berkelanjutan di Kapuas Hulu.

“Komitmen ini penting agar kita memiliki jaminan kepastian pembangunan berkelanjutan masuk di dalam arah kebijakan pembangunan di Kapuas Hulu setelah kandidat terpilih,” pungkasnya.

Karena masih dalam masa pandemi Covid-19 jumlah orang yang hadir dalam acara dialog tersebut akan dibatasi. Namun masyarakat luas tetap dapat mengikutinya karena akan disiarkan secara live streaming dan melalui youtube. (SM)

25 Desa di Lombok Timur Ikuti Pelatihan Proyek ‘ECHO Green’

Oleh: KPSHK

MATARAM – Proyek ECHO Green di Lombok Timur akan mendorong peningkatan kapasitas kelompok petani perempuan dan generasi muda. Sebanyak 25 desa di 3 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur akan mengembangkan kapasitasnya di sektor pertanian. Ketiga kecamatan yang menjadi prioritas ECHO Green diantaranya, Kecamatan Sembalun, Kecamatan Suela dan Kecamatan Sambelia.

Sekretaris Daerah Lombok Timur, Drs. HM. Juaini Taopik, MAp saat membuka training yang disponsori ECHO Green berharap, pelatihan tersebut akan mendorong tumbuhnya Kader Desa Tata Ruang dan Tata Guna Lahan yang mampu berperan sebagai fasilitator dalam proses penyusunan Tata Ruang Desa dan Tata Guna Lahan di desa masing-masing secara mandiri.

Selanjutnya dapat mendukung Tim Pemetaan Desa (TPD) dalam membuat Peta Tematik, terutama Peta Sumber Daya Alam Desa dan Peta Penggunaan Lahan Pertanian Desa. Serta Peta Tematik lainnya yaitu Peta Kerentanan Bencana, Peta Tata Kelola Sumber Daya Air dan Irigasi (Hidrologi), dan Peta Kawasan Konservasi Tinggi (NKT/HCV).

“Training ini tentang Perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan Desa yang Inklusif Berbasis Perempuan dan Pemuda untuk Pertanian Berkelanjutan untuk Kader Desa di Kabupaten Lombok Timur,” ujar Sekda Lotim Juaini Taopik .

Dihadapan peserta training yang diutus dari masing-masing kader desa, kecamatan se Lombok Timur, Sekda Juaini Taopik bahwa ECHO Green akan memfasilitasi pertemuan kepala desa di tiap kecamatan untuk membahas perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan Desa, Memperkuat pemahaman dan kapasitas teknis para pihak di lokasi program ECHO Green serta membina kader sebagai fasilitator lokal dalam melakukan Tata Ruang Desa dan Tata Guna Lahan yang dapat menjamin pemenuhan hak ekonomi perempuan dan pemuda kelompok tani.

Diharapkan dari pelaksanaan kegiatan pelatihan ini para kader dapat mendukung pelaksanaan penyusunan Tata Ruang Desa dan Tata Guna Lahan Desa melalui ECHO Green. Disamping itu akan memperkuat keterlibatan perempuan dan pemuda dalam pembangunan desa di bawah tatanan desa yang baru berdasarkan Undang-Undang Desa bahwa Pemerintah Desa memiliki wewenang untuk menyusun Rencana Tata Ruang Desa dan Rencana Tata Guna Lahan Desa yang terintegrasi. Artinya, proses-proses perencanaan yang dilakukan harus partisipatif, memastikan keterlibatan efektif perempuan, generasi muda dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut ECHO Green telah menyusun modul/guideline yang merujuk pada toolkits
analisis gender, UU Desa, UU Perencanaan Tata Ruang, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 41/2007
tentang klasifikasi penggunaan lahan, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 20/2007 tentang Pedoman Analisis Teknis dalam Perencanaan Tata Ruang.

Selain itu Pedoman ini juga telah mengadaptasi dan menggabungkan metode Penilaian cepat partisipatif dan perencanaan penggunaan lahan berbasis masyarakat.

Kegiatan ini pun dapat mengimplementasikan penggunaan pedoman tersebut diperlukan pelatihan (Training) di tingkat kabupaten. Yaitu, Pelatihan Perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan Desa yang Inklusif untuk OMS, perangkat pemerintah desa dan kecamatan, dan pemimpin kelompok perempuan dan pemuda di tingkat kabupaten (Training on Inclusive Village Spatial and Land-Use Planning for CSOs, Village and Sub-District Government Apparatus, and Women and Youth Group Leaders at District Level).

Tak kalah pentingnya, memfasilitasi pembentukan Tim Pelaksanan Desa (TPD) dalam melakukan Pemetaan melalui Tim Pemetaan Desa dan penyusunan Peraturan Desa melalui Tim Penyusunan Perdes terkait Tata
Ruang Desa yang melibatkan perwakilan kelompok perempuan dan pemuda di tiap desa.

Pelatihan ECHO Green berlangsung di salah satu hotel di kawasan Senggigi berlangsung dari tanggal 6-9 Oktober 2020 mendatang. Dalam.pelatihan tersebut, peserta diharuskan memperhatikan protokol kesehatan. (wr-dy)

Sumber: https://ntb.siberindo.co/06/10/2020/25-desa-di-lombok-timur-ikuti-pelatihan-proyek-echo-green/

Mata Pencaharian Berkelanjutan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau

Oleh: YAPEKA

Bentang alam Rimbang Baling merupakan kawasan strategis di tengah Sumatera yang menjadi tempat hidup beragam jenis satwa dan tumbuhan langka, serta menjadi habitat kunci harimau Sumatera. Berada di bagian barat daya propinsi Riau dengan sebagian wilayahnya mencakup propinsi Sumatra Barat, wilayah ini juga merupakan hulu dan daerah tangkapan air utama di Sumatera bagian Selain itu, kawasan ini juga telah dihuni masyarakat secara turun temurun yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alamnya. Dengan demikian, keberadaan kawasan hutan BRBB mempunyai peran yang sangat strategis, baik bagi keberadaan satwa, khususnya harimau, maupun masyarakat yang berada dalam maupun di sekitar kawasan yang telah menempati desa-desa tersebut sebelum Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa.

Pemanfaatan lahan pekarangan lebih produktif

Saat ini, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SM BRBB) tidak terlepas dari ancaman, berupa perburuan liar, illegal logging, perambahan, perubahan fungsi kawasan dan perubahan tutupan lahan. Untuk itu diperlukan pendekatan dan kerjasama semua pihak untuk dapat mengatasi ancaman tersebut, termasuk pelibatan masyarakat secara aktif melalui program mata pencaharian berkelanjutan sesuai potensi yang dimiliki yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan tekanan kedalam kawasan hutan.

Pada tahun 2015, YAPEKA bersama Mitra melakukan kegiatan perlindungan Kawasan dan pengembangan masyarakat dan mata pencaharian berkelanjutan untuk mendukung konservasi alam. Pemberdayaan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya melalui pendekatan co-benefit melalui penggalian pengetahuan, praktik dan memahami sikap masyarakat terkait konservasi dan berbagai aspek terkaitnya, identifikasi potensi sumber pendapatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, pengembangan energy ramah lingkungan, pengembangan ekowisata.

YAPEKA dan Mitra telah bekerja secara sistematis dan tekun di lapangan; mulai dari memahami persoalan dan potensi, dan bersama-sama mengajak masyarakat di 10 desa target untuk mengembangkan berbagai potensi mata pencaharian berkelanjutan yang ramah lingkungan serta Beberapa demplot, baik untuk energy terbarukan seperti solar cell, pikohidro, biogas, dan pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan pekarangan telah dibangun bersama dengan masyarakat di wilayah yang dianggap strategis serta pengembangan agroforestry. YAPEKA dan Mitra secara aktif juga terlibat dalam pendampingan penyempurnaan RPJMDesa dimana aspek-aspek lingkungan/konservasi menjadi bagian penting kegiatan di tingkat desa. Sementara itu, berdasarkan potensi wisata, telah dikembangkan rencana pengelolaan ekowisata dan peningkatan kapasitas masyarakat di 3 desa. Secara perlahan, dialog antara pengelola kawasan, dan masyarakat sekitar kawasan, kini mulai tampak lebih cair. Perencanaan juga dilakukan di level desa dengan melakukan kajian kebijakan terkait dengan KPHK dan masyarakat, pemetaan kondisi desa, dan pendampingan RPJMDes yang berwawasan lingkungan. Program ini juga mendukung penyebaran informasi melalui radio komunitas dan telah terbentuk satu radio komunitas yaitu Radio Komunitas “Lintas Subayang”.

YAPEKA dan Mitra terus berkomitmen bersama masyarakat setempat, Pemerintah, serta pihak terkait dapat berkontribusi di Rimbang Baling untuk mendukung kelestarian kekayaan hayati dan pendampingan kepada masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan Sinergi pengelolaan Kawasan dan pembedayaan masyarakat antara Pemerintah Pusat, Daerah dan Desa sangat diperlukan untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut.

Pendampingan RPJMDesa