Sekolah Adat Yayasan Merangat

Indonesia Forest Forum : Perhutanan Sosial Untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan

Perhutanan Sosial merupakan program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan adanya perhutanan sosial, masyarakat dapat mengelola hutan lestari secara bijak baik dalam kawasan hutan negara atau hutan adat. Namun, sebenarnya bagaimana program tersebut dijalankan? Apa langkah yang mungkin dilakukan agar program Perhutanan Sosial dapat semakin efektif dan luas jangkauannya?

Tempo bekerjasama dengan Ford Foundation pada tanggal 11 November 2020, menggelar Indonesia Forest Forum. Diskusi yang dilaksanakan melalui media virtual/daring dengan tema “ Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan” ini menghadirkan beberapa narasumber kompeten di bidangnya dari latar belakang pemerintah (pemda dan pusat), praktisi, NGO, akademisi dan jurnalis sehingga diharapkan edukasi dan informasi kepada publik terkait apa dan bagaimana Perhutanan Sosial bisa tercapai.  Para panelis banyak memberikan informasi mulai dari bagaimana penerapan Perhutanan Sosial dari sisi kebijakan, pelaksanaan dan pengalaman di lapangan maupun tantangan yang dihadapi desa-desa hutan di Indonesia.

Perhutanan Sosial bertujuan untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan maupun kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran yang berdampingan atau berada di wilayah hutan dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di lingkungan hutan. Selain itu, Perhutanan Sosial juga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan ekonomi berdasarkan pada tiga pilar yakni: 1) lahan, 2) kesempatan usaha dan 3) sumberdaya manusia.

Berdasar penjelasan dari narasumber dan informasi portal resmi Kominfo (2017), dalam pelaksanaannya, pengelolaan kawasan hutan dibagi menjadi lima (5) skema yaitu:

  1. Hutan Desa (HD), adalah wilayah hutan yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa dengan tujuan untuk meningkatan kesejahteraan desa.
  2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), adalah hutan milik negara yang pemberdayaannya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
  3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman produksi yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas dan potensi dari hutan produksi tersebut dengan memanfaatkan teknik silvikultur ( pengendalian tanaman, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan ) demi menjaga kelestarian sumberdaya hutan.
  4. Hutan Adat (HA), adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat
  5. Kemitraan Kehutanan, adalah kemitraan antara masyarakat dengan pihak ketiga seperti pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang iin usaha industri primer hasil hutan.

Dalam implementasi di lapangan, Perhutanan Sosial ini seringkali menghadapi tantangan dibidang regulasi, karena masih banyaknya peraturan yang tumpang tindih terutama dalam pengelolaan tanah dan hutan yang pada akhirnya menyulitkan mekanisme verifikasi bagi pihak yang mengajukan ijin pemanfaatan hutan. Kerancuan dalam aspek legal ini berdampak pada sengketa wilayah hutan yang sampai sekarang masih sering menimbulkan kerugian dan korban karena belum teratasi secara maksimal. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang sehat dan berpihak agar keadilan sosial dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan.

Diskusi Tematik Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia

Diskusi tematik tentang infrastruktur ramah disabilitas sebagai rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Nasional yang akan berpuncak pada tanggal 3 Desember 2020 menjadi salah satu upaya penyadaran bahwa pemerintah, pebisnis dan masyarakat khususnya penyandang disabilitas perlu mendap atkan pengakuan dan hak yang sama dalam hidup berbangsa. Oleh karena itu pada tanggal 17 November 2020, KIAT sebuah program kerjasama Indonesia dan Australia untuk mencip takan dan memajukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta inklusif melalui akses infrastruktur bagi semua menggelar sebuah diskusi tematik melalui media daring dengan tema: “ Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia.”

Kegiatan ini menghadirkan enam orang narasumber mewakili pemerintah pusat (Kementerian PUPR, Cipta Karya, KSP), Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas (HWDI) Pusat dan NTB serta Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Konsep besar perubahan paradigma tentang pembangunan infrastrur berpijak dari Visi Indonesia Emas pada tahun 2045 untuk menjadi negara yang semakin adil, makmur, berdaulat, melalui pembangunan infrastruktur yang merata, terintegrasi dan inklusif. Visi besar tersebut akan tercapai apabila pembangunan menerapkan lima (5) poin dasar yakni: 1) harus melibatkan semua lapisan masyarakat, 2) berkomitmen dengan SDGs, 3) mewujudkan kesetaraan gender, 4) pembangunan berkelanjutan dan 5) bersifat inklusif.

Diskusi ini banyak membahas kebijakan pemerintah bersama multi pihak dalam upaya merancang dan membangun infrastruktur ramah disabilitas. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada bulan Agustus 2020 telah terbit satu Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2020 yang mengatur aksesibilitas terhadap pemukiman layanan publik dan perlindungan kebencanaan bagi penyandang disabilitas. Peraturan ini lahir sebagai upaya pemenuhan hak agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional.

Dijelaskan, bahwa saat ini Indonesia sangat membutuhkan kontribusi dari seluruh pihak untuk mencapai visi, karena saat ini Indonesia hanya mampu mencover 37% dari 6.445 trilyun anggaran untuk mencapai visi 2045. Maka untuk mengatasinya, pemerintah Indonesia membuat terobosan penanganan dan pembiayaan bekerjasama dengan badan usaha (KPBU) yang memungkinkan badan usaha untuk membangun, mengelola dan merawat infrastruktur dalam waktu tertentu sebelum diserahkan ke pemerintah. Badan usaha dapat memperoleh kembali investasinya melalui user charge tarif penggunaan infrastruktur misalnya di jalan tol, availability payment yang memungkinkan pemerintah membayar badan usaha yang telah memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimum misalnya di rumah sakit maupun cara lainnya selama tidak melanggar peraturan. Pemerintah juga melakukan penjaminan di PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia untuk mengantisipasi risiko tertentu yang bisa ditanggung pemerintah.

Dalam paparannya baik Kementerian PUPR maupun Cipta Karya menjelaskan bahwa infrastruktur yang dibangun saat ini sudah sesuai dengan PP No 42/2020, sehingga aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diperhatikan. Dalam diskusi ini juga dibuat poling dengan pertanyaan,  “ menurut an da, secara umum apakah infrastruktur yang tersedia sekarang sudah ramah disabilitas?” dan mayoritas peserta poling menjawab tidak. Oleh karena itu, dalam penjelasannya, Bapak Sunarman dari Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan sesuai dengan Perpres No 38/2019 memberikan amanat kepada KSP untuk memberikan dukungan kepada presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program priorit as nasional, komunikasi politik dan pengelolaan isu-isu strategis. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas KSP adalah pengawasan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Presiden dengan tegas dan jelas menyampaikan bahwa paradigma negara kepada warga negara penyandang disabilitas harus bergeser dari paradigma karitatif ‘Charity Based’ menjadi paradigma perlindungan dan pemenuhan hak ‘ Human Rights Based.’ Narasumber juga menjelaskan paradigma praktik di lapangan terkait pembangunan infrastruktur yang masih kurang ramah disabilitas diantaranya:

  1. Kurangnya pemahaman aspek ragam disabilitas, belum tercermin dalam persyaratan IMB, sehingga masih banyak pembangunan fasilitas publik yang belum aksesibel.
  2. Jika aspek aksesibilitas sudah masuk dalam Detail Engineering Design (DED), pengerjaannya sering tidak konsisten/tidak sesuai standar sehingga justru membahayakan pengguna dan pemborosan anggaran karena akhirya tidak digunakan.
  3. Keterlibatan penyandang disabilitas seringkali tidak dari proses perencanaan tetapi langsung diminta uji coba aksesibilitas, ketika pembangunan infrastruktur sudah selesai sehingga kadang sudah terbangun namun tidak memenuhi standar
  4. Pengadaan barang dan jasa belum konsisten terhadap aksesibilitas
  5. Penegakan hukum blum terlihat atau masih parsial

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, maka tantangan yang dihadapi saat ini mencakup beberapa hal yakni:

  1. Banyaknya ragam disabilitas
  2. Geografis Indonesia yang beragam dan sulit
  3. Daya dukung sosial ekonomi yang masih minim
  4. Kesadaran, sensitivitas dan keberpihkan yang masih kurang
  5. Kapasitas dan jaringan advokasi yang beragam
  6. Masih dibutuhkan koordinasi dan sinergi vertikal dan horisontal
  7. Kemampuan keuangan daerah yang beragam
  8. Rekomendasi
  9. Aspek ragam aksesibilitas / universal design menjadi persyaratan IMB
  10. Melibatkan ragam disabilitas dalam perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi (audit) pembangunan infrastruktur
  11. Law enforcement/mekanisme feedback/complain kepuasan
  12. Politik anggaran yang pro-disabilitas termask aksesibilitas
  13. Penyandang disabilitas terlibat dalam forum pengadaan barang dan jasa

Untuk menjawab tantangan ini, KIAT bekerjasama dengan multi pihak berupaya mengedepankan beberapa landasan hukum berikut:

  1. UUD 1945 pasal 27 H ayat 2, setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
  2. UU nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung pasal 27 (2)
  3. UU nomor 8/2016 pasal 2 huruf h, pasal 5 (1) huruf m dan pasal 18 tentang Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak
  4. Peraturan Pemerintah (PP) no 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlidungan dan Pemenuhan Hak Ppenyandang Disabilitas menjadi sasaran strategi RIPD No 2
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 42/2020 tentang Aksesibilitas terhadap Pemukiman Layanan Publik dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas\
  6. Peraturan Menteri PUPR nomor 14/2018 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung

Penerapan landasan hukum terutama PP no 42/2020 diharapkan menciptakan penyediaan pedoman dan standar tekis pemukiman yang mudah diakses penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan transportasi umum yang ramah disabilitas. Dalam isu penanggulangan kebencanaan, diperlukan akomodasi yang layak dan data maupun informasi yang mudah diakses.

Guna mempercepat infrastruktur yang ramah disabilitas, KIAT (Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur) memberikan bantuan teknis dalam PHJD/PRIM sehingga infrastruktur menjadi responsif gender dan inklusi bagi penyandang disabilitas. Sedangkan Kementerian PUPR sudah melaksanakan pembangunan infrastruktur yang terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan pengarusutamaan gender, serta berlandaskan tata kelola pemerintahan yang baik dalam proses pencapaian tujuan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan kebutuhan, tingkat kesulitan, aspirasi perempuan, laki-laki dan anak-anak, penyandang disabilitas dan kelompok marginal.

Peran Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas baik pusat maupun daerah diperlukan untuk lebih mewujudkan pembangunan infrastruktur yang adil bagi semua. Organisasi lain yang terlibat dalam proses ini adalah Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang ikut mengawal ketersediaan fasilitas aksesibilitas terutama dalam proses perijinan bangunan gedung khususnya di Jakarta dan beberapa kota lainnya.

Semoga pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak berhenti di tataran regulasi terutama implementasinya di tingkat daerah, sehingga aksesibilitas yang adil bagi semua dalam visi Indonesia emas 2045 dapat terwujud. Diharapkan dengan sinergitas multi sektor dan konsistensi, Indonesia menjadi negara yang seakin memperhatikan partisipasi berbagai kelompok kepentingan terutama mereka yang sering terpinggirkan dalam sektor infrastruktur bangunan dan jalan, khususnya perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas.

Seminar Nasional: Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM: “Memetakan Progres dan Agenda di Indonesia ”

Topik tentang Bisnis dan HAM menjadi semakin berkembang secara global sejak disepakatinya UN Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights: Implementing the United Nations: Protect, Respect and Remedy Framework pada tahun 2011.  Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan nilai-nilai UNGPs melalui Kementerian Hukum dan HAM yang melanjutkan tugas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Focal Point untuk mengawal proses penyusunan Peta Jalan Bisnis dan HAM 2020 – 2024.

Penerapan UNGPs dalam praktik bisnis banyak melibatkan aktor: pemerintah, pebisnis maupun organisasi masyarakat sipil sebagai bentuk sinergitas dari sisi regulasi, pelaksanaan maupun pengawasan.  Berkaitan dengan capaian dan tantangan dalam advokasi bisnis dan hak asasi manusia yang dilakukan masyarakat sipil di Indonesia tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Rights Working Group (HRWG), Konsil LSM dan Yayasan Penabulu memandang perlu bagi masyarakat sipil Indonesia untuk mendiskusikan, membahas, dan mengenal implementasi, capaian dan proyeksi UNGPs di Indonesia. Untuk itulah pada tanggal 8 November 2020 diselenggarakan Seminar Nasional mengangkat tema “ Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM,” dengan lima narasumber yang dihadirkan dari kalangan pemerintah (Bappenas dan Kemenkumham), pebisnis (Kadin) dan NGO.

Dijelaskan, bahwa pada Februari 2019 telah dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM di Bogor oleh Multistakeholder Forum yang menghasilkan 10 poin rekomendasi bagi Indonesia dalam mengimplementasikan UNGPs sebagai berikut:

  1. Disusunnya panduan upaya peningkatan kesadaran bagi para pemangku kepentingan di semua tingkatan
  2. Mengadopsi komitmen kebijakan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan HAM
  3. Mengkonsolidasikan upaya penilaian baseline dan mengisi kesejangan data
  4. Menyelaraskan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM dengan SDGs
  5. Mendukung kelanjutan dan peningkatan inisiatif sertifikasi terkait HAM yang sedang berlangsung
  6. Mengembangkan strategi komunikasi untuk mengkomunikasikan bukti kemajuan di Indonesia secara lebih efektif
  7. Terlibat dalam konsultasi berkala dengan organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta
  8. Memecah peta jalan menjadi tugas yang dapat ditindaklanjuti dan menugaskan pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan setiap tugas
  9. Menyetujui kerangka waktu dan target roadmap
  10. Adaptasi SOP yang tepat

Dalam seminar ini, narasumber juga memberikan gambaran bahwa Peta Jalan Bisnis dan HAM merupakan upaya penerapan UNGPs yang dibentuk dengan target dan tujuan bagi:

  1. Perusahaan yang sudah mengetrapkan konsep Bisnis dan HAM
  2. Terbentuknya mekanisme pendukung yakni mekanisme due diligence, mekanisme pelaporan dan pemulihan serta akses kelompok marjinal untuk memperoleh pemulihan
  3. Indikator dan target yang lebih fokus, terutama terkait dengan hak anak yaitu perlindungan hak anak yang beyond forced labour

Upaya menyelaraskan bisnis dan HAM tentu akan menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan beragam dari banyak pihak. Salah satu pertanyaan yang paling dasar adalah “ mengapa HAM penting bagi Bisnis?” Bisnis sangat berorientasi keuntungan dan seringkali muncul anggapan bahwa isu HAM akan menghambat kinerja bisnis. Jika dihubungkan dengan pertumbuhan negara, akan seperti dua sisi koin:  di satu sisi isu HAM merupakan topik yang perlu ditegakkan oleh negara, namun disisi lain dikhawatirkan akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Kita perlu bercermin dari pengalaman negara-negara di Asia seperti Thailand dan Korea Selatan yang telah lebih dulu mengupayakan dan menerapkan terciptanya hubungan harmonis antara Bisnis dan HAM. Di kedua negara tersebut, aktivitas bisnis dapat berjalan beriringan dengan HAM melalui implementasi beberapa pelaksanaan kebijakan secara bertahap guna mencapai tujuan pembangunan terutama terkait dengan kesejahteraan pekerja sehingga dapat memaksimalkan potensi di setiap sektor usaha.

Gagasan awal pelaku bisnis memperhatikan isu-isu HAM dan isu-isu lain seperti: Lingkungan, SDA, dsb, muncul dari kegiatan filantropi seperti pemberian sumbangan ‘donasi’ sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Meskipun para pelaku bisnis dan pemangku kepentingan lain mempunyai pemahaman yang berbeda terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan, namun perbedaan pemahaman ini dapat terjembatani dalam ISO 26000 yang disusun secara partisipatif oleh hampir 100 negara termasuk Indonesia. ISO 26000 merupakan panduan komprehensif yang dapat diterima di seluruh dunia yang dirilis November 2010 dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadi SNI 26000 pada April 2013.

Dokumen internasional ini bukan standar sistem manajemen sehingga tidak ada sertifikasi tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau biasa dikenal dengan CSR. Corporate Social Responsibillity/CSR merupakan sebuah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan dari produk barang dan jasa yang dihasilkan maupun keputusan dan aktivitasnya dalam menghasilkan barang dan jasa terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Tanggung jawab ini ditunjukkan dengan perilaku etis dan transparan, memperhitungkan harapan pemangku kepentingan, mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku yang terintegrasi di seluruh perusahaan dan dipraktikkan dalam interaksinya dengan pihak lain. Tujuan akhir CSR adalah kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan.

Selain penjelasan di atas, para narasumber di seminar ini juga banyak menanggapi pertanyaan terkait dengan posisi dan peran masyarakat sipil/LSM dalam upaya penegakan Bisnis dan HAM. Dijelaskan bahwa peran masyarakat sipil maupun LSM adalah menjadi daya dorong gerakan advokasi kepada pemerintah untuk mewujudkan regulasi terkait dengan bisnis dan HAM. Mendorong pemajuan isu bisnis dan HAM dalam bentuk program kelembagaan, diantaranya dengan melakukan diskusi, seminar, workshop, internalisasi (bagi OMS), pelatihan dan aktivitas advokasi lainnya. Selain itu, juga memproduksi pengetahuan dalam bentuk riset secara mandiri maupun berkolaborasi dengan pemerintah, secara eksternal juga mendorong perusahaan untuk mengakomodir prinsip-prinsip dalam UNGPs ke dalam kebijakan operasional perusahaan.

Apakah peran ini sudah cukup berhasil mendorong implementasi bisnis dan HAM? Kebijakan dan proses ini menjadi proses dasar untuk meletakkan upaya diseminatif fondasi relasional antara aktivitas bisnis dan HAM. Belum menegaskan tanggung jawab negara dan korporasi untuk membangun tatanan kebijakan yang holistik sehingga mampu mendorong akselerasi pembangunan yang inklusif, merata dan berkeadilan. Tiap pihak perlu meningkatkan efektivitas bekerjanya sistem tata kelola polisentris yang tunduk pada standar dan mekanisme prinsip pedoman bisnis dan HAM.

Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat sipil untuk mengintegrasikan prinsip pedoman bisnis dan HAM kedalam rencana kerja pemerintah baik pusat, daerah maupun desa serta korporasi di seluruh Indonesia.

The Life and Adventures of Ruggie Principles: “A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia”

Sebagai penanda 10 tahun ratifikasi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) yang akan jatuh pada bulan Juni 2021, maka pada tanggal 23 November 2020 dilaksanakan sebuah seminar internasonal melalui media daring yang  diprakarsai oleh ELSAM, Konsil LSM Indonesia, HRWG, Penabulu Foundation dan Sawit Watch dengan tema “ The Life and Adventures of Ruggie Principles: A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia.” Tujuan seminar  adalah untuk mempromosikan dan berbagi pengetahuan tentang pelaksanaan BHR dalam perspektif internasional dan lokal (Indonesia).

Kegiatan ini sejalan dengan progam pemetaan diskursus oleh Kelompok Kerja PBB untuk Bisnis dan HAM. Oleh karena itu, agar informasi semakin akurat maka  dihadirkan keynote speaker dari OECD Working Party on Responsible Business Conduct serta para narasumber dari: Forum Asia, APAC,ABN AMRO Bank, People Coalition for Food Sovereignity dan ELSAM. Para narasumber memberikan penjelasan terkait dengan  pengembangan peta jalan guna mengimplementasikan UNGPs secara lebih luas sampai dengan tahun 2030.

Dijelaskan oleh para narasumber bahwa setiap pemangku kepentingan di seluruh dunia baik pemerintah, perusahaan maupun NGO, sebenarnya telah berusaha untuk melakukan internalisasi UNGPs dalam konteks negara masing-masing, khususnya belajar dari pelaksanaan di Asia (Thailand) maupun Indonesia dengan  tantangan dan kemajuannya. Selain UNGPs, keberadaan OECD sebagai organisasi yang terlibat dalam perdagangan dan pembangunan juga mempunyai peran untuk mewadahi kepentingan anggotanya yang sebagian merupakan negara berkembang. Peran OECD diharapkan menjadi watch dog dalam praktik bisnis di negara-negara berkembang yang masih banyak melakukan pelanggaran HAM. Selain sebagai upaya perlindungan HAM, UNGPs dan standar yang ditetapkan OECD juga dapat digunakan untuk memberikan dorongan bagi sektor industri untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19, karena memaksa adanya Responsible Business Conduct (RBC). Bisnis yang bertahan di masa pandemi ini tidak hanya akan memiliki sistem pengelolaan yang taat pada perundang-undangan lokal, namun juga aktif memberikan kontribusi bagi pemenuhan HAM bagi karyawan maupun masyarakat terdampak dalam aktivitas bisnisnya.

Narasumber dari Forum Asia yakni Lorenzo memberikan contoh negara Thailand sebagai negara pertama di Asia yang menerapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait bisnis dan HAM. Penerapan RAN di Thailand menghadapi tantangan seperti minimnya transparansi dan akuntabilitas, kerangka pengawasan yang tidak jelas sebagai upaya memastikan keselarasan UNGPs, serta terbatasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalam menentukan poin-poin prioritas RAN Thailand. Tantangan ini menurut Lorenzo dapat menjadi pelajaran penerapan RANHAM di Indonesia agar berjalan lebih efektif.

Dalam sesi terakhir, juga dibahas secara singkat korelasi UU Cipta Kerja (UUCK) yang telah disahkan. Andi Muttaqien (narasumber) menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja disatu sisi memudahkan pemodal melaksanakan investasi bisnisnya di Indonesia, namun di sisi lain, agenda penegakan HAM masih perlu ditingkatkan. UUCK memiliki beberapa masalah yang sebagian masih merugikan masyarakat pekerja. Oleh karena itu, penerapan UUCK masih perlu dikaji lebih lanjut agar UUCK tidak hanya mendukung pertumbuhan bisnis di Indonesia, tapi juga memberikan perlindungan HAM bagi buruh dan masyarakat terdampak.

 

Ladang Adalah Sekolah: Aktivitas Menugal (Menanam Padi) Masyarakat Dayak Pangin Orung Daa’an

Oleh: Kalimantan Institute

Embun pagi masih menyelimuti sebuah kampung kecil Dusun Nanga Arong yang terletak di Desa Nanga Raun, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 Wib. Kami (tim Kalimantan Institute)  terlambat bangun setelah malamnya ngobrol sampai larut bersama anak – anak Sekolah Adat Togung Tebirung Nanga Arong dan Masyarakat Dusun Nanga Arong.

Ketika kami masih saling bertukar pikiran sambil menikmati secangkir kopi, terdengar suara Kevin, anak laki-laki berumur sekitar 9 tahun menyampaikan  pesan bahwa teman – temannya sudah siap dan sudah menunggu untuk berangkat ke ladang. Kami bersiap-siap dan bergegas untuk berangkat ke kegiatan menugal (menanam padi)  di ladang Nenek Sarating (65 tahun).  Bersama Kevin dan teman-temannya, kami berjalan menyusuri jalan antar kampung, karena kebetulan ladang untuk kegiatan menugal terletak di sebelah Desa Nanga Sarai. Namun, karena semalam hujan deras, maka pagi ini Sungai Mandai banjir dan meluap ke beberapa anak sungai di sekitarnya. Oleh karena itu, mau tidak mau dalam perjalanan ini beberapa kali kami harus berenang karena jalan yang kami lalui terendam air hingga mencapai 1 meter atau sampai sebatas perut orang dewasa. Selama empat puluh lima menit (45’) kami berjalan, hingga kami sampai di ladang tempat menugal dan segera bergabung dengan kelompok ibu-ibu dan bapak yang telah tiba terlebih dahulu.

Matahari mulai meninggi, aktivitas menugal pun akan dimulai, kegiatan ini didahului dengan penjelasan dari Nanak Sarating (65 tahun) kepada anak – anak terkait jenis varietas padi yang akan ditanam, serta bagaimana cara menanamnya. Dijelaskan bahwa kali ini jenis padi yang akan ditanam adalah padi Onko, Mutoy dan padi Kasia (dalam Bahasa Dayak Pangin Orung Da’an). Proses memberikan penjelasan sebagai sebuah pengajaran budaya tutur ini dilakukan masyarakat Dayak Pangin Orung Da’aan secara turun temurun. Tujuannya adalah untuk menjaga dan menurunkan pengetahuan leluhur kepada generasi berikutnya, sehingga pengetahuan terkait berladang dapat terus terjaga dari generasi ke generasi dan tidak mudah hilang. Selanjutnya proses menugal dimulai, semua yang datang ikut serta, termasuk anak – anak.  Anak – anak sangat bersemangat mengikuti kegiatan menugal tersebut.

Ketika waktu  sudah menunjukan pukul 12.00 Wib kami pun beristrahat dan makan siang. Diantara waktu istrahat, anak – anak mendengar cerita dari orang tua, baik terkait cerita berladang maupun hanya sekedar mendongeng. Semua cerita maupun dongeng merupakan ajaran bijak  terkait dengan kearifan lokal Masyarakat yang mempunyai makna luar biasa bagi generasi muda.  Setelah istirahat secukupnya,  kegiatan menugalpun dilanjutkan sampai sore hari dan setelah sore, kami semua bergegas pulang sebelum sang mentari kembali ke persembunyiannya untuk esok melanjutkan kegiatan Sekolah Ladang bagi anak-anak generasi penerus masyarakat Dayak Pangin Orung Daa’an.

 

Mbok Prami, Dari Kopi Kami Hidup dan Menghidupi

Oleh: Desa Lestari

Mbok Prami, panggilan sehari-hari. Seorang Ibu dari 2 orang anak dan seorang petani kopi. Hampir 50 tahun dia hidup di muka bumi ini dan selama dia hidup, kopilah yang menafkahi dari masih sebagai anak bahkan sekarang sudah memiliki anak.

Mbok Prami

Kopi baginya adalah jantung kehidupan. Hampir semua Sarjana yang berasal dari Kecamatan Pupuan, biayanya dari penghasilan kebun Kopi. Yang mana Kopi Robusta Pupuan sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.

Dengan memiliki luas lahan 30 Are kebun kopi, disitulah penghasilan keluarga Mbok Prami. Tanaman Kopi yang harus memiliki tanaman lain sebagai pelindung, Dia tanam, tanaman buah seperti Duren, Alpukat, dan Manggis serta beberapa tanaman lain seperti cengkeh sebagai tanaman pelindung.

Di sebelah bawah dekat sungai, Iya tanami dengan Bambu Tabah untuk mencegah erosi. Sehingga selain pendapatan keluarga dari Kopi, tanaman lain juga menambah pendapatan. Bahkan untuk menambah pendapatan lebih, Iya juga menjadi buruh tani di kebun warga.

Selama ini Kopi yang dihasilkan dijual langsung ke pengepul dalam bentuk buah segar (cerri) dengan kualitas buah asalan (campur). Sebenarnya Iya bisa saja menjual yang hanya buah merah saja, namun menurutnya memetik asalan tidak banyak memakan waktu, sehingga diwaktu lain bisa bekerja sebagai buruh tani.

Pada akhir tahun 2019, Iya mengikuti pelatihan olahan produk berbahan kopi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Desa Lestari dalam Program Kampung Berseri Astra. Pada pelatihan ini, Iya dengan 29 orang lainnya belajar cara membuat berbagai produk olahan dengan berbahan campuran kopi, seperti kerupuk kopi, stik kopi, biscuit kopi dan ice cream kopi. Iya dan  peserta lainnya sangat terkejut, bahwasanya kopi yang selama ini Iya kenal bisa diolah lagi. “Saya udah puluhan tahun mengenal dan hidup dari kopi, tapi baru tau sekarang kopi bisa dijadikan kerupuk” kata Mbok Prami saat ditanya kesan dari pelatihan itu.

Pasca mengikuti pelatihan tersebut, Iya dan beberapa yang lainnya memproduksi kerupuk kopi dan stik kopi di bawah naungan Bumdesma Pupuan. Dengan bantuan Program Kampung Berseri Astra, peralatan dan bahan produksi sudah disiapkan. Beberapa kali uji coba mereka lakukan untuk menemukan rasa yang pas menurut mereka agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Sekarang  Iya dan yang lainnya sudah memproduksi Kerupuk dan stik kopi dengan merk dagang “Batukaru” di bawah bendera Bumdesma Pupuan. Dari hasil produksi ini menambah pendapatan ekonomi, dimana penambahan pendapatan ini sangat membantu pada masa-masa pandemic Covid-19 sekarang.

Impian Pak Griswara, Petani Bambu Tabah dari Batungsel

 

Oleh: Desa Lestari

Sore itu tepatnya tanggal 26 Februari 2019, setelah mengantar lalu  menaruh karung berisi beberapa batang rebung bambu tabah untuk disetor kepada Koperasi Tunas Bambu Lestari,  lelaki itu menunggu. Menurut catatan pembelian koperasi namanya tertulis Kiswara, beliau berumur 61 tahun, sudah mempunyai cucunya tiga. Berdasarkan cerita pengurus Koperasi sampai bulan Februari ini adalah kali ke empat Griswara menjual rebung bambu tabah kepada koperasi Tunas Bambu Lestari di Desa Padangan, Kec.Pupuan, Kab. Tabanan.

Pak Griswara

Pak Griswara adalah salah satu petani dari Desa Batungsel, yang merasakan manfaat Program Kampung Berseri Astra-Desa Sejahtera Tabanan dari dua ratusan lima puluhan petani yang terpapar program. Jarak kebun bambu tabahnya ke koperasi dua km. Dalam dua hari sekali  Kiswara menjual rebungnya. Dia berjalan kaki selepas kerja kebun, biasanya sore hari. Griswara senang, 20 rumpun bambu tabah yang ditanamnya tiga tahun lalu sekarang menghasilkan. “Petani di sekitar kebunnya saat ini baru mulai tanam, setelah tahu koperasi membelinya. Saya sudah bisa menjual walau masih sedikit.” begitu menerangkan kepada saya.“Bisa menambah pendapatan disaat komoditas tidak begitu ada hasilnya.” tambahnya.

Panen rebung bambu tabah di Kecamatan Pupuan memang baru banyak-banyaknya. Hal itu terjadi karena musim penghujan yang mundur ke bulan Desember, sehingga Februari-Maret menjadi puncak masapanen.  Jika harga di pasar tradisional sebatang rebung bambu tabah dijual paling tinggi dua ribu lima ratus rupiah, itupun kadang  dibayar tunda. Namun di koperasi rebung grade A Jumbo ihargai tiga ribu rupiah dan dibayar tunai. Terima tunai ini menggairahkan petani untuk memanen rebung bambu tabah. Petani juga mulai merawat rumpun. Jika bulan Januari baru ada delapan petani yang menjual ke koperasi, bulan Februari ini telah lebih dari 45 petani di 9 Desa di kecamatan Pupuan yang mendapat penghasilan dari rebung bambu tabah. Uang yang beredar untuk pembelian rebung sudah mendekati dua puluh lima juta. Kita belum menghitung rebung yang dibeli oleh BUM Desa Padangan juga melakukan pembelian. Rebung bambu tabah saat ini mampu memberikan tambahan pendapatan bagi petani di saat komuditas lain seperti kopi dan buah mulai langka.

Program ini diharapkan menyentuh banyak petani di 14 Desa di kecamatan Pupuan. Desa Lestari bekerjasama dengan  Astra dan Pemda Tabanan melalui Dinas Ketahanan Pangan sedang mengupayakan hal itu.

Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa

 

Oleh: Yayasan Penabulu

Risalah untuk Rural ICT Camp 2020

Kegiatan Rural ICT Camp 2020 merupakan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia, khususnya pedesaan dan wilayah terpencil. Kegiatan yang dimotori oleh Kasepuhan Cipta Gelar bekerjasama dengan Common Room Networks Foundation dilakukan tanggal 12 – 14 Oktober 2020 melalui rangkaian diskusi, lokakarya serta pameran yang terkait dengan upaya pengembangan infrastruktur internet berbasis komunitas lokal.

ICT Rural Camp terbagi dalam bebeapa pola yakni: seminar, workshop dan diskusi yang semuanya dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan platform zoom meeting. Pada workshop hari ke-2 bertema: “Memajukan Kebudayaan dari Desa” dengan para pembicara: Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya Kemendikbud: Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT, Bito Wikantosa, SS., M.Hum., Dr. Inang Winarso – Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jabar dan Imas Subariah dari Teater Satu Lampung.

Diawali dengan sharing pengalaman praksis dari Ibu Imas – Teater Satu Lampung. Mereka menemukan kondisi bahwa pandemi ini membuat masyarakat dan komunitas-komunitas penggiat budaya tidak bisa lagi mengeksplorasi seni dan budaya lokal secara optimal misalnya event-event budaya yang harus dilakukan secara virtual. Hal ini dikarenakan masyarakat desa dan komunitas belum memiliki pengetahuan tentang teknologi informasi khususnya internet secara baik terutama untuk hal-hal yang bersifat eksebisi. Diharapkan peran karang taruna desa menjadi lebih menghidupi IT, terutama desa yang seni dan budaya nya menjadi bagian hidup masyarakat. Misalnya karang taruna mengelola channel youtube desa maupun medsos desa lainnya. Harapannya adalah: Optimalisasi Literasi Teknologi dan Literasi Digital di tingkat desa, mengapa? Karena saat ini masih banyak program pemerintah yang tidak melakukan research dalam implementasi program teknologi (contoh sederhana terkait dengan ketepatan pemilihan provider di desa).

Sedangkan Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes PDDT yakni Bapak Bito Wikantosa menyampaikan bahwa, Permedes 13/2020 tentang Prioritas Dana Desa 2021 sudah mengakomodir pemanfaatan teknologi informasi desa, misalnya desa akan memanfaatkan untuk kebutuhan internet desa (mulai dari pasang tower, pembelian peralatan wifi, pulsa, dll), hal ini untuk mewujudkan 18 SDGs Desa terutama tentang ‘Budaya Desa yang Dinamis dan Adaptif.’ Namun, disampaikan juga oleh bapak Bito bahwa desa perlu juga mulai mengoptimalkan pelayanan sosial dasar terutama kesehatan masyarakat, misalnya pencegahan stunting, isu anak dan perempuan, kesehatan lingkungan, dll.

Pentingnya ICT digital bagi desa adalah untuk melindungi knowledge managemen di tingkat desa dan bukan sebaliknya, hal tersebut disampaikan oleh bapak Inang dari Asosiasi Antropologi Indonesia Penda Jabar. Menurut pak Inang, saat ini urbanisasi merupakan brand frame masyarakat desa untuk mencari penghidupan di kota. Dalam dikotomi desa-kota, desa dipandang sebagai sejarah dengan jargon dan narasi kontra dan branding bahwa hidup di kota lebih sejahtera dibandingkan hidup di desa. Namun ketika masa pandemi seperti sekarang ini, dikotomi tersebut berbalik 180 derajat. Saat ini desa menjadi tempat ‘pelarian’ para korban pandemi covid-19 terutama mereka yang mencari penghidupan di kota. Mengapa desa tidak terlalu terdampak secara sosial oleh pandemi? Karena kekuatan gotong royong tetap menjadi andalan dan kekuatan desa di masa pandemi dan penyelamat masyarakat kota. Oleh karena itu Pemajuan Kebuadayaan dari Desa merupakan sebuah strategi yang pembangunan yang tepat dan SDGs memang sebaiknya dimulai dari desa.

Narasumber terakhir dalam workshop yang menarik ini adalah Bapak Restu Gunawan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya, Kemendikbud. Pak Restu menekankan pentingnya Desa menjadi Lumbung Budaya. Hal ini dikaitkan dengan pemajuan kebudayaan dan pembangunan budaya. Pembangunan budaya menitiberatkan pada: ekonomi budaya, pendidikan budaya, ketahanan budaya dan literasi budaya. Mengapa desa perlu menjadi lumbung budaya? Secara politis, desa menjadi pusat stabilitas politik agar orang kota tidak bergejolak. Hal ini berdampak pada harga hasil produk pertanian yang selalu tetap dan tidak memberi banyak keuntungan bagi petani, tetapi lebih pada subsisten, namun secara politis gejolak perkotaan bisa ditekan. Bagaimana dengan literasi desa? Desa bisa melengkapi data desa seperti sejarah desa, lintas budaya desa, kemitraan desa, dll secara valid.

Dimisalkan, literasi desa itu juga memuat tentang cerita tutur dan tradisi menjaga bencana yang dikemas dalam model digital kemudian dikelola menjadi cerita budaya desa dan dimasukkan dalam rencana aksi desa tahunan atau jangka panjang melalui perencanaan desa. Saat ini di Indonesia ada 357 desa yang sudah membuat PPKD (Perencanaan Pemajuan Kebudayaan Desa). Desa juga memerlukan komunitas pendukung yang mendorong kerja-kerja budaya di desa, sehingga bisa menata simpul simpul gerakan budaya desa seperti seniman mengajar, desa menari, desa wisata budaya, dll. Di bagian akhir pak Inang menutup dengan pernyataan bahwa desa bisa mengkapitalisasi kemajuan informasi tetapi pembangunan desa yang utama tetap untuk memperkuat keindonesiaan dan bukan memperkuat kapital desa semata.

Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan disampaikan oleh peserta terutama terkait dengan: prioritas DD 2021, upaya mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dan fungsi digitalisasi desa. Pertanyaan tersebut dijawab oleh bapak Bito dan bapak Inang dengan cukup detil sebagai berikut:

“ Bahwa prioritas DD tahun 2021, secara umum bisa dikelola untuk mewujudkan desa digital dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti bantuan tunai, pengadaan tower desa, maupun pengadaan peralatan teknologi informasi (wifi, kabel, pulsa, dll) dengan syarat dilakukan melalui proses perencanaan desa / musrenbang desa. Pengadaan sarana informasi desa bisa juga melalui kerjasama antar desa (BKAD) ataupun BUMDes melakukan kerjasama dengan penyedia provider. Sedangkan Dana Desa terkait dengan pandemi diatur langsung dari pemerintah pusat. Refungsi kebudayaan desa dilakukan dengan mempercepat bertemunya tradisi dan teknologi modern dalam tradisi berdesa dalam hal ini internet sebagai alat fungsional dan tidak untuk menegasi tradisi desa.’

Sedangkan pertanyaan terkait dengan mempertahankan budaya lokal bagi kaum muda dijawab oleh bapak Inang dengan penjelasan, “ Perbanyak partisipasi kaum muda desa dalam kegiatan kebudayaan, hal ini akan menjadi outstanding tradisi desa, karena fungsi teknologi digital untuk pengembangan budaya lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Teknologi kebudayaan harus diperkenalkan kepada generasi muda untuk menjaga agar pemajuan kebudayaan lokal tetap berlangsung.”

Tanggapan dari kedua narasumber tersebut menjadi penutup kegiatan workshop “Digitalisasi Pemajuan Kebudayaan Desa” yang menjadi upaya kolaboratif konsolidasi ide, praktik, inisiatif dan regulasi dalam mengembangkan infrstruktur internet berbasis komunitas terutama komunitas lokal pedesaan. (FSP)

A Series of Tea Talk on Pandemic and Society “Strategi Pertahanan dan Perjuangan Pekerja Migran Indonesia Pada Masa Pandemi COVID-19”

Oleh: CTSS

CTSS IPB University Hadirkan Aktivis Migran di Tengah Pandemi.

Sampai saat ini, pemerintah belum sepenuhnya memberikan layanan yang baik bagi buruh migran Indonesia. Padahal buruh migran dari Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 10 ribu orang setiap tahunnya. Di samping itu, isu kekerasan terhadap buruh migran turut menjadi polemik terhadap dunia migran Indonesia. Namun kondisi pandemi saat ini seperti menutup polemik tersebut dari publik.

Melihat kondisi tersebut, Center for Transdisiplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University menghadirkan tokoh migran Indonesia untuk hadir dalam acara serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk, 15/10. Tokoh tersebut adalah Eni Lestari dan Arumy Marzudhy. Pada kesempatan ini juga dihadirkan Dr Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Padjajaran.

Dr Neviaty P. Zamani, Head of Outreach and Capacity Building Division CTSS IPB University menjelaskan, di media sosial maupun masyarakat umum tidak banyak yang membicarakan buruh migran tersebut. Padahal, buruh migran menjadi salah satu pendukung dalam perekonomian nasional.

“Mereka adalah salah satu penghasil devisa kita, dengan adanya kasus seperti ini, kita akan membahas secara langsung polemik tersebut bersama praktisi dan pakar sosial,” katanya.

Dalam paparannya, Eni Lestari, Ketua International Migrant Alliance menjelaskan jumlah buruh migran Indonesia mencapai 9 juta orang. Jumlah tersebut 70 persen adalah buruh wanita. Buruh migran Indonesia tersebar hampir seluruh benua dan terbesar di Asia.

“Rata-rata mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti pegawai rumah tangga, pabrik, perkebunan, anak buah kapal. Beberapa dari mereka juga bekerja di semi formal seperti pelayaran, perhotelan dan perawat,” kata Eni.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi buruh migran diperlakukan layaknya barang atau komoditas. Beberapa migran bekerja pada jenis pekerjaan kotor, berbahaya, dan tidak manusiawi meski berketerampilan. Ia juga menjelaskan buruh migran kerap menjadi korban perdagangan manusia, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual, psikologi dan traficking.

Oleh sebab itu, buruh migran membangun serikat dan asosiasi. Serikat ini dimaksudkan untuk mengorganisir dan memberikan pendampingan kasus, advokasi dan mobilisasi. Tidak hanya itu, asosiasi tersebut juga berusaha memberi solidaritas dengan perjuangan lokal.

Pada kesempatan ini, Eni juga menjelaskan kondisi para buruh migran dalam menghadapi pandemi COVID-19. Selama pandemi berlangsung, beberapa migran terinfeksi oleh COVID-19 dan ada yang meninggal. Para migran juga terkena PHK dan kesulitan mencari kerja. Di samping itu, tidak sedikit buruh migran yang mengalami stres fisik, psikologi dan keuangan karena tekanan kerja bahkan ada yang mengalami kelaparan.

Sementara, Arumi Marzudhy, Pekerja Migran Indonesia (PMI) justru memilih pulang dan membuka usahanya di tanah air. Sebagai kelompok yang terdampak secara langsung oleh pandemi COVID-19, Arumi telah melakukan banyak hal. Dalam membangun usahanya, ia semakin menggencarkan penjualan produknya melalui pasar online, melakukan penganekaragaman produk, menjaga dan mengembangkan jejaring komunikasi dengan kawan-kawan pekerja migran yang masih ada di negara penempatan serta membuka layanan sub-agen pengiriman barang.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Jendral Soedirman. Tyas menjelaskan, selama pandemi berlangsung, banyak pekerja migran Indonesia (PMI) yang kembali ke tanah air. Para PMI lebih memilih kembali ke tanah air karena khawatir permasalahan yang akan dihadapi di negara tempatnya bekerja.

Berdasarkan data yang dirilis Migrant Care 2020, PMI rentan terpapar atau tertular virus COVID-19 karena berada di wilayah seputar episentrum COVID-19 seperti di China. PMI juga rentan distigma sebagai pembawa virus sehingga mengalami pembatasan mobilitas dan diskriminasi pelayanan. Tidak hanya itu, PMI juga rentan mengalami penambahan beban kerja sehingga sangat potensial berkonflik dengan majikan.