Cerita Pengalaman Magang

Oleh: Rian Panca Kesuma

“Skripsi dulu aja!”
“Si A diterima di sini lo!”
“Kamu magang dimana?”
“Pusing ya magang Corona gini.”
“Udah pada ambil magang?”
“Cape kuliah mau nikah aja!”
“Magang dimana ya? Tempat magang pada tutup, Corona!”
“Udah daftar ke Kemenlu, MNC, instansi pemerintahan, atau ke NGO mana?”

Begitulah kira-kira obrolan teman-teman sekitar di awal masa pandemi. Cukup bingung dan terpengaruh awalnya, namun jika dipikir kembali ‘menganggur dan pasrah tidak akan menjawab permasalahan apapun’ bermodal keyakinan bahwa ‘tuhan selalu menyertai orang-orang nekat’ saya mendaftarkan diri ke beberapa NGO. Usaha dan doa akhirnya terjawab, saat itu saya mendapatkan email dari Bapak Budi Susilo yang tergabung di Penabulu Foundation, setelah mengisi beberapa persyaratan “alhamdulillah” saya diterima. Sejak saat itu ketika obrolan serupa terulang saya bisa menjawab dengan bangga “Saya magang di Penabulu Foundation”.

Nama saya Rian, seorang mahasiswa HI semester tujuh di Universitas AMIKOM Yogyakarta. Melamar magang di bulan Agustus dan mulai magang sejak 1 September 2020 di Penabulu Foundation. Kenapa harus Penabulu? mudah saja, saya merasa bahwa NGO adalah lembaga yang paling pertama “bersentuhan tangan” dengan masyarakat dan Penabulu adalah NGO yang paling banyak berkolaborasi dengan lembaga lain. Syukurlah Penabulu masih membuka kesempatan magang di masa pandemi dan beruntung sekali saya mendapatkan kesempatan bergabung.

Setelah resmi bergabung, saya diposisikan sebagai salah satu anggota tim manajemen ADIL ‘Aliansi Desa yang Inklusif dan Lestari’ YK. Di tim ini saya bekerja bersama tiga orang teman sesama magang dan seorang mentor yang sangat baik yaitu Bu Ani. Di tim ini, saya benar-benar sadar, ternyata masih banyak karakter orang di luar sana yang harus saya kenal dan pahami. Dari kampus yang berbeda-beda, latar belakang berbeda, lingkungan kerja yang berbeda dengan kampus, mendorong saya untuk terus berkembang dan beradaptasi.

Selama magang di sini, sudah banyak sekali moment berharga yang saya dapat. Saya belajar bagaimana berkomitmen, bekerjasama dalam tim, menyusun konten untuk website, rapat online karena sedang tidak bisa bertatap muka, ikut serta dalam berbagai seminar, ikut kelas dari lembaga, ikut acara di hotel mewah, ditraktir makan enak, menertawakan bercandaan receh mereka yang selalu menghibur saya, dan masih banyak lagi.

Sebagai anggota tim ADIL, saya harus mampu melihat satu kasus dalam beragam sudut pandang; ini adalah satu dari sekian banyak hal yang saya pelajari ketika bergabung. Dalam pertemuan pertama ADIL misalnya, setiap lembaga yang tergabung memberikan point of view yang berbeda ketika membahas Isu Strategis Desa, hal itulah yang menjadi motivasi saya.

Perlu diketahui kalau ADIL memang terdiri dari beberapa lembaga di dalamnya; ketika saya bergabung, ADIL telah memperoleh 12 lembaga anggota dan pasti akan terus bertambah. Lembaga yang tergabung dalam ADIL kukuh dalam ‘keterikatan yang lepas’ artinya, kerjasama ADIL tidak sama sekali membatasi gerak kerja tiap-tiap lembaga anggota; namun tetap terikat secara kolektif pada visi bersama dalam jangka panjang, yaitu: pembangunan desa yang berkeadilan sosial di Indonesia. Latar belakang tiap lembaga anggota pun amat beragam, hal ini bernar-benar mencerminkan bagaimana kolaborasi berkerja.

Meskipun waktu magang bertepatan dengan masa pandemi Covid-19, hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat saya. Bersama ADIL, saya merasa telah berkembang menjadi pribadi yang berbeda. Kehidupan mahasiswa saya yang “tadinya” malas-malasan seketika berubah menjadi lebih produktif. Saya cukup sering mendapat pengarahan dan ikut serta dalam rapat yang membahas isu-isu strategis Desa. Dalam waktu empat bulan ini saya menulis beberapa laporan yang sebagian dapat dilihat di website resmi ADIL. Senang rasanya, setiap kali membuka Berita dan Cerita di website ADIL; meskipun tulisan saya perlu banyak dikoreksi Bu Ani “maaf buu.” Saya merasa amat senang karena “pusing” ketika menulis tidak terasa sia-sia.

Laporan-laporan yang saya tulis tidak hanya berasal dari hasil rapat dan diskusi rutin. Sebagian saya susun berdasarkan materi yang saya peroleh ketika menghadiri seminar ‘daring maupun luring’ serta kelas yang diselenggarakan Penabulu atau NGO lain yang berkolaborasi. Salah satu yang paling saya ingat adalah ketika menghadiri acara ICCO Cooperation dan Yayasan Penabulu dalam skema Civic Engagement Alliance Indonesia “Responsible Business in 4.0 Era” di Hotel Grand Senyum; sebagai satu-satunya mahasiswa magang. Saat itu, saya berusaha menyimak tiap-tiap laporan yang disampaikan semua lembaga yang terlibat. Saya bersemangat karena keterlibatan lembaga internasional di acara ini amat sangat relate dengan materi yang saya pelajari di kampus, kebetulan saya adalah mahasiswa Hubungan Internasional.

Selain menulis, saya juga kerap membuat poster yang berisi rangkuman dari laporan maupun hasil rapat yang dilakukan tim ADIL. Tujuannya, agar informasi dapat lebih tertuju karena dikemas menarik dan “semoga” memudahkan pembaca memperoleh informasi di dalamnya. “Saya harus membuatnya semenarik mungkin agar informasi ini dapat diterima semua orang.” Itu adalah kata kata yang terfikirkan ketika saya membuat poster. Setiap orang benar-benar harus mendapat informasi tersebut, karena tidak semua informasi tersedia di tempat lain. Sebut saja isu digitalisasi sistem di tingkat desa, aneka program industrialisasi masuk desa, peningkatan akses dan kontrol rakyat, terbangunnya gerakan rakyat ‘atas kedaulatan pangan’, advokasi kebijakan di berbagai level pemerintahan ‘desa, kabupaten, pusat’, desa sebagai objek pembangunan, carut marut tata kelola pemerintahan desa dari sisi regulasi, desa tidak lapar karena memiliki banyak sumberdaya tetapi desa butuh recognisi, tradisi berdesa semakin tergerus oleh budaya luar, eksploitasi dan kerusakan alam secara massal serta perubahan budaya bertani yang tidak berkelanjutan, dan masih banyak lagi isu yang belum saya sebutkan; sangat jarang menjadi isu “popolis” yang sering kita lihat di media mainstream. Saya amat beruntung memperoleh informasi tersebut, dan semoga semua orang juga bisa memperolehnya.

Saya berharap, semoga pandemi cepat berakhir, semua program kerja ADIL, Penabulu, maupun NGO lainnya tidak terhambat dan semoga visi ADIL “pembangunan desa yang berkeadilan sosial di Indonesia” dapat tercapai dengan baik.

Last but not least, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Penabulu Foundation dan terimakasi ADIL telah memberikan saya kesempatan bergabung, mengajarkan saya hal-hal baru, mempertemukan saya dengan momen yang menarik dan orang-orang baik. Semoga selama empat bulan ini, saya memberikan kesan yang baik untuk teman-teman anggota semua. Untuk siapapun yang membaca tulisan ini saya ucapkan maaf karena lumayan “kacau” dan terima kasih serta salam hangat dari saya, Rian Panca Kesuma.