Diskusi Tematik Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia

Diskusi tematik tentang infrastruktur ramah disabilitas sebagai rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Nasional yang akan berpuncak pada tanggal 3 Desember 2020 menjadi salah satu upaya penyadaran bahwa pemerintah, pebisnis dan masyarakat khususnya penyandang disabilitas perlu mendap atkan pengakuan dan hak yang sama dalam hidup berbangsa. Oleh karena itu pada tanggal 17 November 2020, KIAT sebuah program kerjasama Indonesia dan Australia untuk mencip takan dan memajukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta inklusif melalui akses infrastruktur bagi semua menggelar sebuah diskusi tematik melalui media daring dengan tema: “ Infrastruktur Ramah Disabilitas: Kebijakan dan Praktik di Indonesia.”

Kegiatan ini menghadirkan enam orang narasumber mewakili pemerintah pusat (Kementerian PUPR, Cipta Karya, KSP), Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas (HWDI) Pusat dan NTB serta Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Konsep besar perubahan paradigma tentang pembangunan infrastrur berpijak dari Visi Indonesia Emas pada tahun 2045 untuk menjadi negara yang semakin adil, makmur, berdaulat, melalui pembangunan infrastruktur yang merata, terintegrasi dan inklusif. Visi besar tersebut akan tercapai apabila pembangunan menerapkan lima (5) poin dasar yakni: 1) harus melibatkan semua lapisan masyarakat, 2) berkomitmen dengan SDGs, 3) mewujudkan kesetaraan gender, 4) pembangunan berkelanjutan dan 5) bersifat inklusif.

Diskusi ini banyak membahas kebijakan pemerintah bersama multi pihak dalam upaya merancang dan membangun infrastruktur ramah disabilitas. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada bulan Agustus 2020 telah terbit satu Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2020 yang mengatur aksesibilitas terhadap pemukiman layanan publik dan perlindungan kebencanaan bagi penyandang disabilitas. Peraturan ini lahir sebagai upaya pemenuhan hak agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional.

Dijelaskan, bahwa saat ini Indonesia sangat membutuhkan kontribusi dari seluruh pihak untuk mencapai visi, karena saat ini Indonesia hanya mampu mencover 37% dari 6.445 trilyun anggaran untuk mencapai visi 2045. Maka untuk mengatasinya, pemerintah Indonesia membuat terobosan penanganan dan pembiayaan bekerjasama dengan badan usaha (KPBU) yang memungkinkan badan usaha untuk membangun, mengelola dan merawat infrastruktur dalam waktu tertentu sebelum diserahkan ke pemerintah. Badan usaha dapat memperoleh kembali investasinya melalui user charge tarif penggunaan infrastruktur misalnya di jalan tol, availability payment yang memungkinkan pemerintah membayar badan usaha yang telah memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimum misalnya di rumah sakit maupun cara lainnya selama tidak melanggar peraturan. Pemerintah juga melakukan penjaminan di PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia untuk mengantisipasi risiko tertentu yang bisa ditanggung pemerintah.

Dalam paparannya baik Kementerian PUPR maupun Cipta Karya menjelaskan bahwa infrastruktur yang dibangun saat ini sudah sesuai dengan PP No 42/2020, sehingga aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diperhatikan. Dalam diskusi ini juga dibuat poling dengan pertanyaan,  “ menurut an da, secara umum apakah infrastruktur yang tersedia sekarang sudah ramah disabilitas?” dan mayoritas peserta poling menjawab tidak. Oleh karena itu, dalam penjelasannya, Bapak Sunarman dari Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan sesuai dengan Perpres No 38/2019 memberikan amanat kepada KSP untuk memberikan dukungan kepada presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program priorit as nasional, komunikasi politik dan pengelolaan isu-isu strategis. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas KSP adalah pengawasan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Presiden dengan tegas dan jelas menyampaikan bahwa paradigma negara kepada warga negara penyandang disabilitas harus bergeser dari paradigma karitatif ‘Charity Based’ menjadi paradigma perlindungan dan pemenuhan hak ‘ Human Rights Based.’ Narasumber juga menjelaskan paradigma praktik di lapangan terkait pembangunan infrastruktur yang masih kurang ramah disabilitas diantaranya:

  1. Kurangnya pemahaman aspek ragam disabilitas, belum tercermin dalam persyaratan IMB, sehingga masih banyak pembangunan fasilitas publik yang belum aksesibel.
  2. Jika aspek aksesibilitas sudah masuk dalam Detail Engineering Design (DED), pengerjaannya sering tidak konsisten/tidak sesuai standar sehingga justru membahayakan pengguna dan pemborosan anggaran karena akhirya tidak digunakan.
  3. Keterlibatan penyandang disabilitas seringkali tidak dari proses perencanaan tetapi langsung diminta uji coba aksesibilitas, ketika pembangunan infrastruktur sudah selesai sehingga kadang sudah terbangun namun tidak memenuhi standar
  4. Pengadaan barang dan jasa belum konsisten terhadap aksesibilitas
  5. Penegakan hukum blum terlihat atau masih parsial

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, maka tantangan yang dihadapi saat ini mencakup beberapa hal yakni:

  1. Banyaknya ragam disabilitas
  2. Geografis Indonesia yang beragam dan sulit
  3. Daya dukung sosial ekonomi yang masih minim
  4. Kesadaran, sensitivitas dan keberpihkan yang masih kurang
  5. Kapasitas dan jaringan advokasi yang beragam
  6. Masih dibutuhkan koordinasi dan sinergi vertikal dan horisontal
  7. Kemampuan keuangan daerah yang beragam
  8. Rekomendasi
  9. Aspek ragam aksesibilitas / universal design menjadi persyaratan IMB
  10. Melibatkan ragam disabilitas dalam perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi (audit) pembangunan infrastruktur
  11. Law enforcement/mekanisme feedback/complain kepuasan
  12. Politik anggaran yang pro-disabilitas termask aksesibilitas
  13. Penyandang disabilitas terlibat dalam forum pengadaan barang dan jasa

Untuk menjawab tantangan ini, KIAT bekerjasama dengan multi pihak berupaya mengedepankan beberapa landasan hukum berikut:

  1. UUD 1945 pasal 27 H ayat 2, setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
  2. UU nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung pasal 27 (2)
  3. UU nomor 8/2016 pasal 2 huruf h, pasal 5 (1) huruf m dan pasal 18 tentang Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak
  4. Peraturan Pemerintah (PP) no 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlidungan dan Pemenuhan Hak Ppenyandang Disabilitas menjadi sasaran strategi RIPD No 2
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 42/2020 tentang Aksesibilitas terhadap Pemukiman Layanan Publik dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas\
  6. Peraturan Menteri PUPR nomor 14/2018 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung

Penerapan landasan hukum terutama PP no 42/2020 diharapkan menciptakan penyediaan pedoman dan standar tekis pemukiman yang mudah diakses penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan transportasi umum yang ramah disabilitas. Dalam isu penanggulangan kebencanaan, diperlukan akomodasi yang layak dan data maupun informasi yang mudah diakses.

Guna mempercepat infrastruktur yang ramah disabilitas, KIAT (Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur) memberikan bantuan teknis dalam PHJD/PRIM sehingga infrastruktur menjadi responsif gender dan inklusi bagi penyandang disabilitas. Sedangkan Kementerian PUPR sudah melaksanakan pembangunan infrastruktur yang terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan pengarusutamaan gender, serta berlandaskan tata kelola pemerintahan yang baik dalam proses pencapaian tujuan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan kebutuhan, tingkat kesulitan, aspirasi perempuan, laki-laki dan anak-anak, penyandang disabilitas dan kelompok marginal.

Peran Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas baik pusat maupun daerah diperlukan untuk lebih mewujudkan pembangunan infrastruktur yang adil bagi semua. Organisasi lain yang terlibat dalam proses ini adalah Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang ikut mengawal ketersediaan fasilitas aksesibilitas terutama dalam proses perijinan bangunan gedung khususnya di Jakarta dan beberapa kota lainnya.

Semoga pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak berhenti di tataran regulasi terutama implementasinya di tingkat daerah, sehingga aksesibilitas yang adil bagi semua dalam visi Indonesia emas 2045 dapat terwujud. Diharapkan dengan sinergitas multi sektor dan konsistensi, Indonesia menjadi negara yang seakin memperhatikan partisipasi berbagai kelompok kepentingan terutama mereka yang sering terpinggirkan dalam sektor infrastruktur bangunan dan jalan, khususnya perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas.