Seminar Nasional: Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM: “Memetakan Progres dan Agenda di Indonesia ”
Topik tentang Bisnis dan HAM menjadi semakin berkembang secara global sejak disepakatinya UN Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights: Implementing the United Nations: Protect, Respect and Remedy Framework pada tahun 2011. Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan nilai-nilai UNGPs melalui Kementerian Hukum dan HAM yang melanjutkan tugas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Focal Point untuk mengawal proses penyusunan Peta Jalan Bisnis dan HAM 2020 – 2024.
Penerapan UNGPs dalam praktik bisnis banyak melibatkan aktor: pemerintah, pebisnis maupun organisasi masyarakat sipil sebagai bentuk sinergitas dari sisi regulasi, pelaksanaan maupun pengawasan. Berkaitan dengan capaian dan tantangan dalam advokasi bisnis dan hak asasi manusia yang dilakukan masyarakat sipil di Indonesia tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Rights Working Group (HRWG), Konsil LSM dan Yayasan Penabulu memandang perlu bagi masyarakat sipil Indonesia untuk mendiskusikan, membahas, dan mengenal implementasi, capaian dan proyeksi UNGPs di Indonesia. Untuk itulah pada tanggal 8 November 2020 diselenggarakan Seminar Nasional mengangkat tema “ Refleksi Jelang Satu Dekade Prinsip-Prinsip PBB Mengenai Bisnis dan HAM,” dengan lima narasumber yang dihadirkan dari kalangan pemerintah (Bappenas dan Kemenkumham), pebisnis (Kadin) dan NGO.
Dijelaskan, bahwa pada Februari 2019 telah dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM di Bogor oleh Multistakeholder Forum yang menghasilkan 10 poin rekomendasi bagi Indonesia dalam mengimplementasikan UNGPs sebagai berikut:
- Disusunnya panduan upaya peningkatan kesadaran bagi para pemangku kepentingan di semua tingkatan
- Mengadopsi komitmen kebijakan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan HAM
- Mengkonsolidasikan upaya penilaian baseline dan mengisi kesejangan data
- Menyelaraskan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM dengan SDGs
- Mendukung kelanjutan dan peningkatan inisiatif sertifikasi terkait HAM yang sedang berlangsung
- Mengembangkan strategi komunikasi untuk mengkomunikasikan bukti kemajuan di Indonesia secara lebih efektif
- Terlibat dalam konsultasi berkala dengan organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta
- Memecah peta jalan menjadi tugas yang dapat ditindaklanjuti dan menugaskan pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan setiap tugas
- Menyetujui kerangka waktu dan target roadmap
- Adaptasi SOP yang tepat
Dalam seminar ini, narasumber juga memberikan gambaran bahwa Peta Jalan Bisnis dan HAM merupakan upaya penerapan UNGPs yang dibentuk dengan target dan tujuan bagi:
- Perusahaan yang sudah mengetrapkan konsep Bisnis dan HAM
- Terbentuknya mekanisme pendukung yakni mekanisme due diligence, mekanisme pelaporan dan pemulihan serta akses kelompok marjinal untuk memperoleh pemulihan
- Indikator dan target yang lebih fokus, terutama terkait dengan hak anak yaitu perlindungan hak anak yang beyond forced labour
Upaya menyelaraskan bisnis dan HAM tentu akan menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan beragam dari banyak pihak. Salah satu pertanyaan yang paling dasar adalah “ mengapa HAM penting bagi Bisnis?” Bisnis sangat berorientasi keuntungan dan seringkali muncul anggapan bahwa isu HAM akan menghambat kinerja bisnis. Jika dihubungkan dengan pertumbuhan negara, akan seperti dua sisi koin: di satu sisi isu HAM merupakan topik yang perlu ditegakkan oleh negara, namun disisi lain dikhawatirkan akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Kita perlu bercermin dari pengalaman negara-negara di Asia seperti Thailand dan Korea Selatan yang telah lebih dulu mengupayakan dan menerapkan terciptanya hubungan harmonis antara Bisnis dan HAM. Di kedua negara tersebut, aktivitas bisnis dapat berjalan beriringan dengan HAM melalui implementasi beberapa pelaksanaan kebijakan secara bertahap guna mencapai tujuan pembangunan terutama terkait dengan kesejahteraan pekerja sehingga dapat memaksimalkan potensi di setiap sektor usaha.
Gagasan awal pelaku bisnis memperhatikan isu-isu HAM dan isu-isu lain seperti: Lingkungan, SDA, dsb, muncul dari kegiatan filantropi seperti pemberian sumbangan ‘donasi’ sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Meskipun para pelaku bisnis dan pemangku kepentingan lain mempunyai pemahaman yang berbeda terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan, namun perbedaan pemahaman ini dapat terjembatani dalam ISO 26000 yang disusun secara partisipatif oleh hampir 100 negara termasuk Indonesia. ISO 26000 merupakan panduan komprehensif yang dapat diterima di seluruh dunia yang dirilis November 2010 dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadi SNI 26000 pada April 2013.
Dokumen internasional ini bukan standar sistem manajemen sehingga tidak ada sertifikasi tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau biasa dikenal dengan CSR. Corporate Social Responsibillity/CSR merupakan sebuah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan dari produk barang dan jasa yang dihasilkan maupun keputusan dan aktivitasnya dalam menghasilkan barang dan jasa terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Tanggung jawab ini ditunjukkan dengan perilaku etis dan transparan, memperhitungkan harapan pemangku kepentingan, mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku yang terintegrasi di seluruh perusahaan dan dipraktikkan dalam interaksinya dengan pihak lain. Tujuan akhir CSR adalah kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan.
Selain penjelasan di atas, para narasumber di seminar ini juga banyak menanggapi pertanyaan terkait dengan posisi dan peran masyarakat sipil/LSM dalam upaya penegakan Bisnis dan HAM. Dijelaskan bahwa peran masyarakat sipil maupun LSM adalah menjadi daya dorong gerakan advokasi kepada pemerintah untuk mewujudkan regulasi terkait dengan bisnis dan HAM. Mendorong pemajuan isu bisnis dan HAM dalam bentuk program kelembagaan, diantaranya dengan melakukan diskusi, seminar, workshop, internalisasi (bagi OMS), pelatihan dan aktivitas advokasi lainnya. Selain itu, juga memproduksi pengetahuan dalam bentuk riset secara mandiri maupun berkolaborasi dengan pemerintah, secara eksternal juga mendorong perusahaan untuk mengakomodir prinsip-prinsip dalam UNGPs ke dalam kebijakan operasional perusahaan.
Apakah peran ini sudah cukup berhasil mendorong implementasi bisnis dan HAM? Kebijakan dan proses ini menjadi proses dasar untuk meletakkan upaya diseminatif fondasi relasional antara aktivitas bisnis dan HAM. Belum menegaskan tanggung jawab negara dan korporasi untuk membangun tatanan kebijakan yang holistik sehingga mampu mendorong akselerasi pembangunan yang inklusif, merata dan berkeadilan. Tiap pihak perlu meningkatkan efektivitas bekerjanya sistem tata kelola polisentris yang tunduk pada standar dan mekanisme prinsip pedoman bisnis dan HAM.
Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat sipil untuk mengintegrasikan prinsip pedoman bisnis dan HAM kedalam rencana kerja pemerintah baik pusat, daerah maupun desa serta korporasi di seluruh Indonesia.