The Life and Adventures of Ruggie Principles: “A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia”
Sebagai penanda 10 tahun ratifikasi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) yang akan jatuh pada bulan Juni 2021, maka pada tanggal 23 November 2020 dilaksanakan sebuah seminar internasonal melalui media daring yang diprakarsai oleh ELSAM, Konsil LSM Indonesia, HRWG, Penabulu Foundation dan Sawit Watch dengan tema “ The Life and Adventures of Ruggie Principles: A Snapshot of Business and Human Rights Practice from Indonesia.” Tujuan seminar adalah untuk mempromosikan dan berbagi pengetahuan tentang pelaksanaan BHR dalam perspektif internasional dan lokal (Indonesia).
Kegiatan ini sejalan dengan progam pemetaan diskursus oleh Kelompok Kerja PBB untuk Bisnis dan HAM. Oleh karena itu, agar informasi semakin akurat maka dihadirkan keynote speaker dari OECD Working Party on Responsible Business Conduct serta para narasumber dari: Forum Asia, APAC,ABN AMRO Bank, People Coalition for Food Sovereignity dan ELSAM. Para narasumber memberikan penjelasan terkait dengan pengembangan peta jalan guna mengimplementasikan UNGPs secara lebih luas sampai dengan tahun 2030.
Dijelaskan oleh para narasumber bahwa setiap pemangku kepentingan di seluruh dunia baik pemerintah, perusahaan maupun NGO, sebenarnya telah berusaha untuk melakukan internalisasi UNGPs dalam konteks negara masing-masing, khususnya belajar dari pelaksanaan di Asia (Thailand) maupun Indonesia dengan tantangan dan kemajuannya. Selain UNGPs, keberadaan OECD sebagai organisasi yang terlibat dalam perdagangan dan pembangunan juga mempunyai peran untuk mewadahi kepentingan anggotanya yang sebagian merupakan negara berkembang. Peran OECD diharapkan menjadi watch dog dalam praktik bisnis di negara-negara berkembang yang masih banyak melakukan pelanggaran HAM. Selain sebagai upaya perlindungan HAM, UNGPs dan standar yang ditetapkan OECD juga dapat digunakan untuk memberikan dorongan bagi sektor industri untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19, karena memaksa adanya Responsible Business Conduct (RBC). Bisnis yang bertahan di masa pandemi ini tidak hanya akan memiliki sistem pengelolaan yang taat pada perundang-undangan lokal, namun juga aktif memberikan kontribusi bagi pemenuhan HAM bagi karyawan maupun masyarakat terdampak dalam aktivitas bisnisnya.
Narasumber dari Forum Asia yakni Lorenzo memberikan contoh negara Thailand sebagai negara pertama di Asia yang menerapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait bisnis dan HAM. Penerapan RAN di Thailand menghadapi tantangan seperti minimnya transparansi dan akuntabilitas, kerangka pengawasan yang tidak jelas sebagai upaya memastikan keselarasan UNGPs, serta terbatasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalam menentukan poin-poin prioritas RAN Thailand. Tantangan ini menurut Lorenzo dapat menjadi pelajaran penerapan RANHAM di Indonesia agar berjalan lebih efektif.
Dalam sesi terakhir, juga dibahas secara singkat korelasi UU Cipta Kerja (UUCK) yang telah disahkan. Andi Muttaqien (narasumber) menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja disatu sisi memudahkan pemodal melaksanakan investasi bisnisnya di Indonesia, namun di sisi lain, agenda penegakan HAM masih perlu ditingkatkan. UUCK memiliki beberapa masalah yang sebagian masih merugikan masyarakat pekerja. Oleh karena itu, penerapan UUCK masih perlu dikaji lebih lanjut agar UUCK tidak hanya mendukung pertumbuhan bisnis di Indonesia, tapi juga memberikan perlindungan HAM bagi buruh dan masyarakat terdampak.