Sekolah Adat

Oleh: Yayasan Merangat

“Sebagai anggota Masyarakat Adat kami menyadari bahwa selain membawa dampak positif, pembangunan di berbagai sector di daerah pedesaan di pedalaman Kalimantan sering kali mengancam keberadaan yang sangat istimewa (entitas) Masyarakat Adat dan alam sebagai ruang hidup kami. Maka upaya mitigasi mutlak harus dilakukan. Mitigasi yang paling kuat adalah mitigsi yang muncul dari dan oleh Masyarakat Adat itu sendiri.

Agar mampu menjadi pelaku utama mitgasi, kapasitas Masyarakat Adat perlu diperkuat.  Upaya mendukung penguatan kapasitas untuk Masyarakat Adat sampai kami mampu melakukan  mitigasi secara mandiri, memerlukan rentang waktu yang sangat panjang. Karena penguatan kapitas itu adalah sebuah proses penyadaran, pengetahuan, keterampilan sampai pada kebanggaan dan rasa percaya diri kami sendiri semakin kuat. Dan proses itu muncul dari, terjadi dan berkembang di dalam dinamika kehidupan kami, dilakukan oleh dan untuk kami sendiri.  Mitigasi meliputi dua hal yng dilakukan secara parallel, yaitu mitigasi terhadap entitas sosial budaya yang hidup di dalam Masyarakat Adat dan mitigasi  terhadap alam dan keanekaragaman hayati sebagai ruang hidup yang terpelihara sejak ribuan tahun lalu,” kata pak Otong, tokoh MAsyarakat Adat di dusun Salin, Desa Kareho.

Salah satu strategi pendekatan kami, Yayasan Merangat, untuk memperkuat kapasitas Masyarakat Adat adalah melalui Sekolah Adat. Sekolah Adat adalah istilah untuk sebuah wadah sekaligus gerakan budaya, di mana Masyarakat Adat belajar, berrefleksi dan merencanakan bersama entitas mereka sambil melakukan preserve atau konservasi seni budaya, adat, kearifan local, system kepercayaan dan tata kelola alam yang bernilai tinggi, yang masih tersisa pada komunits Masyarakat Adat sampai saat ini. Di Sekolah Adat seni budaya itu digali dan dihidupkan kembali dan menjadi kebanggaan bersama. Di dalam seni budaya itu tersimpan nilai-nilai yang berguna untuk mengembangkan peradaban dan panduan dalam mitigasi social-budaya dan alam.

Sejak tahun 2016 Yayasan Merangat bersama dengan Masyarakat Adat sudah membangun 3 (tiga) Sekolah Adat di Kabupaten Kapuas Hulu, yaitu Sekolah Adat Tua’ Sangau, di Komunitas Masyarakat Adat Dayak Kantu’ desa Sungai Uluk, Sekolah Adat Jut Ubing di Komunitas Masyarakat  Adat Punan Aoheng Koreho desa Kareho dan Sekolah Adat Togung Tebirung, di Komunitas Masyarakat Adat Pangin Orung Da’an, Dusun Nanga Arong. Saat ini sedang persiapan pendirian Sekolah Adat Jaong, di komunitas Masyarakat Adat Dayak Iban di desa Teluk Aur.

Di Sekolah Adat seluruh anggota komunitas Masyarakat Adat, difasilitasi Yayasan Merangat, ambil bagian secara aktif dalam upaya membangun kesadaran bersama (kolektif) dan pemajuan kebudayaan. Upaya itu terwujud dalam bentuk aktivitas peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kebanggaan serta percaya diri melalui penghargaan dan pemuliaan adat, seni (tari, music, lagu, kerajinan,dll), budaya, kearifan local, filosofi dan system kepercayaan yang hidup di dalam komunitas Masyarakat Adat serta kemampuan masyarakat mengelola SDM dan SDA scara berkelanjutan serta menghadapi kemungkinan ancaman bencana sebagai dampak keterbukaan akses dan kemajuan jaman.

Untuk menjamin keberlanjutan Sekolah Adat Yayasan Merangat menfasilitasi Komunitas Masyarakat Adat membangun kemitraan multi pihak (KMP). Ketiga Sekolah Adat yang sudah didirikan semuanya sudah masuk dalam bagian dari rencana pembangunan Desa. Sekolah Adat juga sudah mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah melalui bidang kebudayaan. Dukungan dari pihak lain juga diperoleh dari beberapa lembaga seperti WWF, TFCA serta melalui jaringan pertemanan. Selain itu Sekolah Adat juga  mulai  mengembangkan fundraising melalui jasa pariwisata.

Ekowisata Berbasis Masyarakat

ICCO Cooperation bersama dengan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) menggelar acara launching nasional program Responsible and Sustainable Palm Oil in Indonesia (RESBOUND), bertajuk Membangun Kesejahteraan Warga Desa Melalui Transformasi Pasar dan Bisnis Kelapa Sawit Berkelanjutan. Acara ini diselenggarakan menyusul penerimaan pelaksanaan program di 10 desa di Sumatera Utara, dan 10 desa di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Indah Budiani, Direktur Eksekutif IBCSD saat memberikan paparan di acara launching nasional program Responsible and Sustainable Palm Oil in Indonesia (RESBOUND)

RESBOUND adalah program berdurasi tiga tahun, yang diselenggarakan oleh konsorsium masyarakat sipil. Di antaranya terdiri dari, ICCO Cooperation; Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan PENABULU; serta didukung oleh Uni Eropa.

RESBOUND bertujuan untuk mendorong pembangunan desa di area perkebunan sawit,  yang responsif terhadap kebutuhan komunitas dengan menggunakan pendekatan inklusi, melalui dialog dengan sektor swasta dan melalui kesepakatan kemitraan antara pemerintah desa dengan sektor swasta. Kesepakatan ini diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan desa yang berorientasi pada pemenuhan hak sosial dan hak ekonomi.

Terkait dengan inisiatif ini, transformasi pasar domestik melalui pembangunan kesadaran konsumen untuk memilih produk sawit yang diproduksi secara bertanggung jawab dipilih sebagai salah satu strategi utama.

Tujuannya adalah demi membangun insentif bagi produsen kelapa sawit untuk beroperasi dengan mengindahkan aspek keberlanjutan, dan kepatuhan terhadap nilai dan norma hak asasi manusia.

Permintaan global terhadap sawit Indonesia saat ini mulai menurun dan diikuti dengan penurunan harga, menyusul kesadaran pasar luar negeri tentang perlunya kepatuhan terhadap hak asasi manusia dalam rantai produksi dengan prinsip keberlanjutan.

Hal ini berdampak bagi kehidupan petani dan pekerja sawit di desa. Kiswara Santi, Indonesia Country Coordinator ICCO mengatakan, “Bisnis sawit yang bertanggungjawab, merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa sawit. Konsorsium RESBOUND memilih bekerja bersama dengan desa, sebab desa adalah sumber penghasil pangan dan energi, termasuk penghasil sawit. Namun, jarang yang memperhatikan kesejahteraan dan perikehidupan masyarakatnya.  Sehingga perlu ada kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah desa, dan perusahaan yang bekerja di desa tersebut”.

Sebagai asosiasi perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan, IBCSD melihat bahwa kesadaran akan risiko perubahan iklim di level konsumen telah mendorong masyarakat untuk lebih memilih produk-produk yang berkelanjutan. Hal ini kemudian yang diungkapkan oleh direktur eksekutif IBCSD, Indah Budiani, “Dengan meningkatnya demand di konsumen, penciptaan produk yang sustainable pada akhirnya akan dapat meningkatkan posisi daya saing sawit indonesia di pasar global, ” ungkapnya dalam keterangan resmi, Selasa (19/11).

“Sementara itu di sisi produsen, dukungan atas inisiatif baik ini juga meningkat akibat banyaknya perusahaan yang sadar atas risiko bisnis bila mereka tetap berada di ‘business as usual’ dan tidak maju ke ‘responsible business”, lanjut Indah.

Hal ini dapat dibuktikan dengan penerapan sustainable sourcing dan berbagai inovasi yang dilakukan dalam usaha memenuhi tuntutan pasar global atas produk yang berkelanjutan.

Akses Terbuka Bagi Warga Penyandang Disabilitas di Sidamulih dan Bangunsari

Oleh: Perkumpulan Desa Lestari

(Ciamis – 21/10) Warga desa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam proses perencanaan dan pembangunan desa.  Desa Sidamulih dan Desa Bangunsari di Ciamis mulai membuka diri untuk memberikan akses bagi para penyandang disabilitas ikut aktif terlibat dalam musyawarah desa. Warga penyandang disabililtas sudah turut menentukan masa depan desa.

Saepul Latif, penyandang disabilitas di Desa Bangunsari dan penerima manfaat program PALUMA Nusantara, yang mengandalkan budidaya bonsai sebagai sumber perekonomian keluarganya.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas hingga sekarang belum terlalu signifikan dirasakan oleh warga desa penyandang disabilitas, termasuk dalam lingkup kemasyarakatan perdesaan. Selama ini belum banyak warga penyandang disabilitas yang dilibatkan pada proses perencanaan dan pembangunan desa dalam kerangka pemberdayaan. Kebijakan dan pembangunan bagi penyandang disabilitas cenderung berbasis belas kasihan dan kurang memberdayakan.

Ahen Heryanto, Sekretaris Desa Sidamulih, menuturkan berdasar data Desa Sidamulih ada 80 orang warga penyandang disabilitas dengan berbagai jenis disabilitas. Meskipun saat ini belum ada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah desa namun beberapa warga penyadang disabilitas sudah diundang dan hadir dalam musyawarah desa. Tidak semua warga disabilitas mau hadir memenuhi undangan kegiatan di Desa, tapi setidaknya sebagian dari seluruh warga penyandang disabiltas terlibat. “Kadang bagi mereka yang tidak bisa datang sendiri karena hambatan berjalan, ada relawan yang siap menjemput,” ujar Ahen juga sebagai Plt. Kepala Desa Sidamulih.

Ahen menambahkan, pembentukan relawan-relawan yang ada difasilitasi oleh PALUMA Nusantara melalui program “Membangun Ketangguhan Indonesia : Memadukan Inklusi, Manajemen Risiko dalam Pembangunan Perdesaan.” Program ini sudah berjalan selama setahun lebih, juga memberikan pelatihan dan pendampingan usaha bagi warga penyandang disabilitas. “Saat ini sedang dirintis usaha kerajinan bambu dan perikanan bagi kelompok penyadang disabilitas, yang nantinya akan menjadi unit usahanya BUMDesa,” tambahnya Ahen.

Kepada Tim Desa Lestari, Nurholis, Sekretaris Desa Bangunsari turut mengatakan warga penyandang disabilitas Desa Bangunsari ada yang menjadi anggota tim penyusun RPJMDesa. Harapannya selain memberikan akses, mereka akan lebih mengetahui kebutuhannya dan dapat diwujudkan melalui program-progam desa. “Pemerintah Desa Bangunsari siap menganggarkan dari APBDesa untuk memberdayakan usaha-usaha penyandang disabilitas,” kata alumnus salah satu perguruan tinggi Yogyakarta ini.

Saepul Latif penyandang disabilitas tuna daksa Desa Bangunsari mengaku senang karena sudah diperhatikan oleh Pemerintah Desa.  Ia berharap agar pembangunan fisik yang ada di desa juga ramah bagi penyandang disabilitas. Terlebih dengan hadirnya pendampingan dari PALUMA Nusantara yang menguatkan keberpihakan kepada warga penyandang disabilitas.  “Dengan sering diundang ke desa untuk ikut musyawarah desa, kami merasa lebih diperhatikan,“ kata Saepul yang saat ini merintis usaha bonsai.

Hal senada disampaikan Kang Herdi, penyandang disabilitas dari Desa Sidamulih yang mengaku kini lebih diperhatikan oleh Pemerintah Desa. Ia jadi lebih percaya diri untuk berbaur dengan warga masyarakat lainnya ketika berkumpul di balai desa. “Saya jadi banyak teman dan saudara,” katanya. (ES)

Riset Aksi Penerapan Pengetahuan Komunitas Lokal

Oleh: BIGS

BIGS bekerjasama dengan Knowledge Sector Initiative melakukan penelitian/riset aksi dan mendorong penerapan pengetahuan komunitas lokal dalam menjaga hutan di kawasan Gunung Ungaran Jawa Tengah.

Di komunitas, BIGS berkolaborasi dengan Sekolah Rakyat Kendal dan didukung oleh Desa Gondang, Kec. Limbangan, Kab. Kendal. Riset aksi difokuskan tentang bagaimana komunitas mengelola pengetahuan serta budaya-budaya lokal yang sudah menjadi kebijaksanaan lokal dan diterapkan untuk waktu yang lama khususnya untuk pelestarian alam.

Transfer metode riset aksi kepada mitra lokal di Kendal memampukan mereka untuk melakukan wawancara mendalam dengan para sesepuh kinunitas untuk mengetahui pengetahuan lokal apa saja yang sebenarnya ada dan selama ini sudah kurang atau bahkan ditinggalkan.

Salah satu temuan pengetahuan atau budaya tersebut adalah Susuk Wangan, yaitu sebuah budaya memelihara mata air dengan cara melakukan upacara tahunan.

Lewat upacara itu masyarakat diingatkan tentang pentingnya menjaga mata air yang berarti juga berdampak pada konservasi hutan-hutan di sekitarnya.

Impactnya, budaya upacara Susuk Wangan dihidupkan kembali sebagai bagian perayaan komunitas

Pengembangan Energi Mandiri Berkelanjutan

Oleh: Relung Indonesia

Sesungguhnya BBM bukanlah satu-satunya sumber energi, apalagi bagi penopang kebutuhan masyarakat. Adanya berbagai keterbatasan dalam hal suplai BBM terutama yang berasal dari fosil, maka Indonesia harus mengembangkan berbagai alternative sumber energi, baik berupa bioenergy (kayu bakar, arang/briket, etanol,  biogas), energi mikrohidro, energi surya dan energi bayu (angin). Selain meningkatkan keragaman sumber energi, Indonesia juga perlu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memproduksi, mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber energi tadi. Hal ini merupakan bagian dari penguatan kemandirian enrgi supaya tidak terlalu bergantung dari supplay energi yang mainstream.

Menyelamatkan Hutan Merapi-Merbabu dengan Pengembangan Biogas

Kayu merupakan sumber energi utama bagi masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Merapi dan Merbabu tidak terkecuali masyarakat yang tinggal di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Program konversi minyak tanah kebahan bakar gas pun belum mampu mengalihkan pilihan masyarakat dari kayusebagai sumber energi utama. Kayu masih menjadi pilihan utama masyarakat di Selo karena dirasa murah (gratis) oleh masyarakat walaupun sebenarnya untuk mendapatkannya juga tidak mudah. Masyarakat harus menebang di kawasan hutan yang cukup jauh jaraknya serta medan yang terjal.

Kegiatan penebangan kayu yang dilakukan oleh masyarakat ternyata mengancam kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Merbabu (TNGMb). Penebangan kayu itu telah menyebabkan degradasi dan deforestasi yang cukup signifikan mengancam flora maupun faunaendemic kawasan itu. Perpaduan kondisi biofisik kawasan yang curam semakin memperparah dampak penebangan kayu bagi kedua kawasan yang berfungsi sebagai sistem penyangga daerah tangkapan air ini. Beberapa yang sudah dirasakan oleh masyarakat disekitar lereng kedua gunung adalah erosi, longsor, sampai dengan matinya beberapa sumber mata air.

Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Selo bermata pencaharian mayoritas (80%) sebagai petani dan peternak sapi. Sampai dengan saat ini terdapat tidak kurang dari 4.000 populasi sapi di Selo (Monografi, 2017). Jumlah populasi sapi di Selo sangat besar dan bisa menjadi potensi solusi atas permasalahan tingginya ketergantungan kayu bakar. Pemanfaatan kotoran sapi untuk mengurangi ketergantungan kayu bakar sudah dimulai oleh Kelompok Tani Karya Manunggal di Desa Samiran, Kec. Selo. Mereka memanfaatkan kotoran sapi menjadi energi sebagai pengganti kayu bakar melalui biogas.

Biogas pertama yaitu dari Kelompok Tani Karya Manunggal di bangun tahun 2011. Pada awalnya masih banyak anggota petani yang meragukan teknologi biogas ini. Seiring dengan waktu, pemilik biogas merasakan manfaat langsung dari penggunaan biogas tersebut. Pemakaian kayu bakar berkurang menjadi 40%, mengurangi pemakaian gas elpiji sampai 100%, masak menjadi lebih nyaman dan tidak terganggu oleh asap kayu bakar, kandang sapi menjadi lebih bersih dan manfaat langsung lainnya. Akhirnya selang 3 tahun (2014) seluruh anggota kelompok Karya Manunggal yang berjumlah 43 orang sudah memiliki instalasi biogas dengan berbagai kapasitas mulai dari 4m3 – 12m3.

Instalasi biogas yang dibangun oleh anggota kelompok tani Karya Manunggal merupakan hasil pembelajaran dari berbagai referensi. Sampai pada akhirnya mereka menemukan teknologi instalasi yang sesuai dengan kebutuhan dan berbiaya murah.  Biogas dengan kapasitas 4m3 mereka hanya membutuhkan biaya sebesar 3 juta rupiah, sedangkan untuk membangun instalasi biogas kapasitas 12m3 hanya mmbutuhkan biaya 6 juta. Biaya instalasi biogas mereka menjadi lebih murah karena menggunakan sistem gotong royong. Pembangunan dilakukan Bersama-sama dan secara sukarela. Sampai saat ini kampung mereka terkenal dengan kampung biogas.

Dari hasil studi yang dilakukan tahun 2014, untuk setiap unit biogas kapasitas 4m3 ternyata mampu mengurangi pemakaian kayu bakar setara dengan 1 pohon akasia dekuren dalam 1 bulan. Artinya, untuk setiap unit biogas telah mencegah pemiliknya untuk melakukan penebangan satu pohon selama sebulan atau setara dengan 12 pohon/tahun. Jika dikalkulasi lebih jauh, dalam satu kelompok Karya Manunggal telah berkontribusi dalam pelestarian kawasan taman nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan tidak menebang pohon disekitar kawasan kedua taman nasional sebanyak 516 pohon/tahun.

Atas keberhasilan ini, kampung biogas Karya Manunggal menjadi percontohan banyak pihak dalam pembangunan biogas. Bahkan beberapa dari anggota kelompok menjadi fasilitator dan trainer bagi warga lain disekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu.

 

Kondisi Pangan dan Masyarakat Indonesia Saat Ini

Oleh: CTSS

Knowledge Platform adalah salah satu dari program di CTSS yang diselenggarakan secara rutin setiap bulannya. Kegiatan Knowledge Platform diadakan dalam bentuk diskusi yang diberi tajuk Transdisciplinary Tea Talk (TTT) dan ADReF (Afternoon Discussion on Redesigning the Future).  Dalam salah satu kegiatan TTT yang baru-baru ini diselenggarakan di bulan Juni 2020,  CTSS mengundang Dr Laksmi Adriani Savitri, Ketua Dewan Nasional Food Information and Action Network Indonesia (FIAN). Topik yang dibicarakan adalah Pandemi dan Ekonomi Politik Pangan.

Dalam menelisik hubungan pandemi COVID-19 dengan ekonomi politik pangan, Laksmi menguraikan bahwa problem struktural pangan dalam global food system turut berkontribusi dalam menciptakan pandemi, dan keadaan pandemik menjadikan persoalan pangan semakin kompleks. Hal ini terjadi karena sistem pangan global dari hulu hingga hilir pada umumnya berdasarkan pada pertanian secara monokultur, rantai pasok yang panjang, tingginya sumbangan pada angka deforestrasi, erosi top soil, permasalahan kekeringan, perubahan iklim dan akses pangan yang tidak merata.

Masalah pangan merupakan isu yang terus menjadi sorotan oleh banyak pihak di berbagai belahan dunia. Saat ini semua pihak sedang menghadapi globalisasi sistem pangan yang ditandai dengan gagasan dan praktik productionism, regional specialization, trade liberalisation, vertical integration, dan vertical concentration. Di Indonesia sistem pangan global ini terbentuk dari suatu proses dalam momen sejarah yang relatif panjang dan dimulai sejak era kolonial hingga saat ini.

Selain terkait produksi dan distribusi dalam system pangan, persoalan pangan juga mencakup persoalan kandungan pangan yang dikonsumsi seperti kecukupan kalori dan protein. Di Indonesia sendiri, kasus kelaparan ini perlu perhatian serius karena berdasarkan laporan Global Hunger Index tahun 2018, persoalan kelaparan di Indonesia berada pada peringkat 73 di dunia dengan skor 21,9 atau berada pada level yang serius. Bahkan di Asia Tenggara, skor Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Laos. Kelaparan tersebut dihitung bukan hanya dari  angka kematian maupun kekurangan makanan saja, tetapi juga termasuk kekurangan nutrisi.

Selain akses pangan yang tidak memadai, faktor ekonomi juga menjadi kunci utama bagi masyarakat dalam mendapatkan akses pangan. Ekonomi masyarakat yang masih mengandalkan pertanian, terutama masyarakat yang berada di kawasan hutan dan sekitar hutan maupun perkebunan, sangat bergantung pada hasil hutan dan perkebunan yang diperoleh. Namun, adanya kebakaran hutan dan lahan belakangan ini turut memperburuk kondisi ekonomi dan ketahanan pangan masyarakat kecil terutama petani.

Pasalnya, masyarakat yang mengandalkan sumber daya hutan dan perkebunan tidak lagi mempunyai penghasilan akibat lahan yang dikelola terbakar. Kebakaran hutan dan lahan ini turut memberikan dampak secara luas bagi masyarakat, terutama dalam penyediaan pangan. Di samping tidak mendapatkan penghasilan akibat lahan terbakar, masyarakat juga tidak lagi memiliki cadangan pangan yang cukup karena tidak ada hasil panen yang didapatkan.

Dalam kondisisi krisis seperti ini lalu pijar apa yang masih patut diharapkan? Setidaknya, masih muncul gerakan baik ditingkat lokal maupun global untuk memproblematisasi persoalan struktural dalam sistem pangan global dan adanya inisiatif gerakan aksi produsen pangan untuk dapat bertemu secara langsung dengan konsumen dalam skala lokal.

Bappeda Litbang, TN Sembilang dan KS Kembangkan Ekowisata Sungsang Sembilang

Palembang, The Zuri 21 Mei 2019 Bappeda Litbang Kabupaten Banyuasin bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Berbak Sembilang dan ZSL Kelola Sendang dalam acara Workshop Penyusunan Visi, Misi dan Rencana kerja Forum Sembilang merangcang salah satu program prioritas pengembangan kawasan ekowisata Sungsang Sembilang.

Acara yang difasilitasi oleh ZSL Kelola Sendang tersebut, dihadiri oleh stakeholder terkait mulai dari Balai Taman Nasional Berbak Sembilang, Bappeda Kab. Banyuasin, Dinas PMD Kab. Banyuasin, Dinas Pariwisata Kah. Banyuasin, Dinas Koperindag dan UKM Kah. Banyuasin, Dinas Perkebunan Kab. Banyuasin, Dinas Perikanan Kab. Banyuasin, UNSRI, Forum DAS, Universitas Muhammadiyah Palembang, Kepala Desa Sungsang IV, Kepala Desa Karang Sari, PT. TPJ, PT. Raja Palma, PT. RHM, PT. Bukit Asam, PT. SHP, Lingkar Hijau Sumsel, PINUS, WRI, HAKI, Wabana Bumi Hijau, KIBAS, Yayasan Penabulu dan Yayasan Puter Indonesia.

Pada Kesempatan tersebut, perwakilan dari Kabupaten Banyuasin dipimpin langsung oleh Kepala Bappeda Litbang Banyuasin, Erwin Ibrahim, ST., MM., MBA dan beliau mengemukakan bahwa kegiatan ini sangat penting mengingat pengembangan kawasan Sungsang dan Sembilang merupakan salah satu prioritas Pemerintah Kabupaten Banyuasin.

Erwin Ibrahim mengemukakan bahwa “momentumnya tepat sekali, kemarin (20 Mei 2019) kami bersama Bupati Banyuasin Bapak H. Askolani dalam lawatan safari Ramadhan di Kecamatan Karang Agung Ilir melalui kawasan TN Sembilang tepatnya sekitar Pulau Ekor Tikus, dan Bupati Banyuasin mengemukakan bahwa kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata”ilayah ini pasti bisa lebih ramai dikunjungi masyarakat jika dikembangkan. apalagi jarak tempuhnya hanya sekitar satu sampai satu setengah jam dari Kota Palembang” Tambahnya.

Kepala Balai Taman Nasinal Berbak-Sembilang mengamini dan mengatakan bahwa “hal tersebut sangat mungkin karena dalam zonasinya wilayah tersebut masuk dalam zona pemanfaatan”.